Tulisan Agustin Hanafi

" Berkelas "

POLIGAMI ANTARA KEBUTUHAN DAN KEINGINAN

♠ Posted by Agustin Hanafi

 





Sebagian orang ketika berbicara mengenai poligami begitu semangat dan menggebu-gebu dengan asumsi bahwa poligami itu sunnah, dan rahmat bagi kaum wanita karena jumlah laki-laki yang siap menikah lebih sedikit dari wanita. 

Bahkan ada sebagian orang menilai praktik poligami dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang, semakin aktif berpoligami dianggap makin baik posisi keagamaannya, atau makin bersabar seorang istri menerima permaduan, makin baik kualitas imannya. Bahkan ayat poligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki sebagai dalih sunnah Nabi, dan jika istri menolak keinginan suami berpoligami maka dianggap durhaka, dengan mengesampingkan maksud dan tujuan ayat Alquran dan praktik Baginda Rasulullah mengenai poligami.


Ayat Alquran yang menyinggung poligami adalah Q.S an-Nisa` ayat 3, "Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua atau tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."


Ayat ini turun berkaitan dengan sikap pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud menikahi mereka karena harta mereka, tetapi enggan berlaku adil, maka ayat ini menegur keras sikap dan perilaku yang tercela itu. Kemudian ayat ini ingin membatasi praktik poligami maksimal empat orang istri, yang pada masa Jahiliyah tanpa batas, seberapa ia sanggup dan seberapa mau.


Di sisi lain, jika merujuk sejarah, Rasul baru berpoligami beberapa tahun setelah istrinya, Khadijah, wafat. Semua pernikahan beliau bertujuan untuk menyukseskan dakwah atau membantu menyelamatkan para perempuan yang kehilangan suami ketika berperang bersama Rasulullah melawan kafir Quraisy.


Ayat di atas juga bukan anjuran berpoligami sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang, tetapi sifatnya hanya mubah dan memberi wadah bagi mereka yang menginginkannnya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu. Sekali lagi bukan berarti membuka lebar-lebar pintu poligami tanpa batas dan syarat, bukan juga sunnah melainkan salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Artinya mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu.


Rasulullah bermonogami selama 25 tahun, sedangkan berpoligami delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami, dan semua istri beliau selain Aisyah adalah janda-janda yang berusia di atas 45 tahun. Kemudian Rasul menikah lebih dari satu perempuan bukan berarti harus diteladani karena tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya.


Seperti, Rasul wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat dan tidak batal wudhu bila tertidur. Tentu ada kekhususan bagi seorang Rasul untuk menjalankan misinya. Jika demikian, seyogyanya masa yang lebih banyak itulah yang diteladani.


Di sisi lain, ada juga sebagian orang yang sangat alergi dan antipati dengan praktik poligami sehingga ingin menutup rapat-rapat pintu poligami dengan dalih poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan laki-laki atas perempuan. Dan merebaknya poligami semakin menguatkan asumsi publik bahwa wanita hanya menjadi obyek pelampiasan nafsu belaka bagi laki-laki.


Mereka juga menyetir ayat 129 surat an-Nisa, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian".

Mereka sering mengutip ayat ini secara sepotong-sepotong, padahal masih ada lanjutan ayat berikutnya yaitu "Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


Lanjutan ini mengisyaratkan bahwa keadilan yang tidak mungkin dapat tercapai itu adalah keadilan dari segi kecenderungan hati yang memang berada di luar kemampuan manusia. Ini juga berarti bahwa keadilan yang dituntut bukan keadilan menyangkut kecenderungan hati, melainkan keadilan material yang memang dapat terukur.


Para ulama fiqh berpendapat bahwa adil terhadap istri-istri ialah adil dalam hal memberikan nafkah hidup mereka seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, waktu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan pemahaman yang antipoligami dengan yang membolehkan poligami bersyarat adil, bahwa apa yang ditawarkan Islam sungguh jauh lebih manusiawi dan bermoral.


Islam bukanlah agama pertama yang membolehkan poligami, akan tetapi jauh sebelumnya, poligami sudah dikenal dan meluas ke banyak bangsa, seperti bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah, Cisilia, Lituania, Polandia, dan lain-lain. Poligami yang diajarkan Islam tidak membenarkan seorang lelaki berhubungan seks, kecuali dengan empat perempuan dan melalui pernikahan yang sah dan permanen. Bandingkan ini dengan hubungan seks bebas, tanpa batas, serta pernikahan kontrak untuk masa tertentu yang melanda masyarakat modern.


Poligami bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan. Di antara perempuan, masih banyak yang secara sadar dan sukarela bersedia untuk dimadu. Seandainya mereka tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit. Dan jika ada praktik poligami yang tidak sesuai ajaran Islam bukan berarti harus menolak ajaran Islam itu sendiri, karena perbuatan menyimpang itu sebenarnya dilakukan oleh orang yang tidak mengikuti tuntunan agama. Singkatnya seperti ini, terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. (M. Quraish Shihab).


Namun demikian, meskipun seorang suami telah memenuhi syarat berpoligami, bahkan menjadi kebutuhan, tetap harus mempertimbangkannya secara matang serta mendiskusikannya dengan istri dan keluarga, dengan mengedepankan akal sehat dan fikiran jernih. Karena bukan hanya menyangkut kebahagiaan suami-istri semata, namun juga mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat juga perasaan anak.


Bukankah dulu berjuang untuk memiliki, sebab dalam penghayatan kita, sesuatu itu indah sebelum dimiliki, agaknya janganlah sampai ia terbuang kini, teruslah berjuang menggapai rahmah, yaitu rela berkorban apa saja demi kebahagiaan pasangan, harapannya meskipun poligami menjadi kebutuhan, namun suami rela tidak melakukannya demi menjaga perasaan pasangan. Juga sebaliknya, meskipun istri tidak menyukai poligami, namun rela mengalah dan berkorban demi kebahagiaan pasangan karena kebutuhan daruratnya.


Kemudian, jika telah mendapat restu istri, sangat indah rasanya jika istri sendiri yang mencarikan sang calon agar tidak menimbulkan banyak masalah, kemudian tidak boleh dilakukan secara diam-diam tanpa izin istri, karena itu bentuk pengkhianatan terhadapnya. Tidak sedikit kasus sepasang suami-istri yang telah mengarungi rumah tangga berpuluh tahun dan telah mapan secara materi namun harus kandas dan papa akibat suami berpoligami. Wallahu A`lam bi al-Sawab.


*Dr. Agustin Hanafi, Lc., MA., 

Ketua Prodi s2 Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry dan Anggota IKAT Aceh

Pakaian Cerminan Peradaban Manusia

♠ Posted by Agustin Hanafi


Dr. H. Agustin Hanafi, MA

KITA merasa prihatin dengan tatacara berpakaian muda-mudi zaman sekarang, ada yang ketat dan tembus pandang, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Bahkan ada yang rela mengumbar auratnya untuk berlenggang lenggok di panggung mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya dengan mengatasnamakan seni, kebebasan berekspresi, kecantikan, dan lain-lain.

Pada hakikatnya menutup tubuh (aurat) adalah fitrah dan budaya manusia, sebagaimana dipahami dari istilah yang digunakan Alquran untuk pakaian, yaitu libas, tsiyab dan sarabil yang berarti penutup apapun yang ditutup dan kembalinya sesuatu pada keadaan semula yaitu mengembalikan aurat kepada ide dasarnya yaitu tertutup.

Allah Swt berfirman: “Wahai anak cucu Adam, janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-A’raf: 27).

Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah swt telah mengilhami manusia dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian. Itu sebabnya terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang dinilainya sebagai aurat. Dengan demikian, berpakaian merupakan naluri dan fitrah manusia, sedangkan membuka aurat adalah ide setan (nafsu syahwat) yang ingin memperdayai manusia, dan karenanya tanda-tanda kehadiran setan (adanya nafsu syahwat) adalah keterbukaan aurat.

Pakaian berfungsi sebagai penutup tubuh sebagai tanda adanya budaya yang luhur. Tidak ada agama yang membenarkan pemeluknya untuk tampil vulgar membuka aurat di depan umum, karena itu merendahkan martabat manusia yang berbudaya dan berperadaban. Bahkan di Eropa (Italia) menutup patung-patung telanjang sebagai penghargaan dan penghormatan bagi presiden Iran yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan. Begitu juga halnya dengan budaya kita, ketika acara seremonial seperti upacara, pesta pernikahan semuanya tampil menutup tubuh, bahkan menggunakan gaun tertentu seperti jas, dasi, dan lain-lain agar kelihatan elegan dan bermartabat.

Penghargaan diri
Ketika seseorang menutup anggota tubuhnya berarti dia telah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap diri dan budaya yang luhur itu yang notabene membedakan dirinya dengan hewan yang tidak memiliki budaya. Begitu juga sebaliknya sekiranya membuka tubuh, berarti telah menistakan dan melecehkan dirinya serta menyamakannya dengan hewan yang tidak memiliki budaya dan peradaban. Pakaian juga berfungsi sebagai perhiasan, yaitu sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang memberi kebebasan dan keserasian kepada pemakainya untuk bergerak, namun mesti disertai tanggung jawab.

Allah Swt telah menganugerahi manusia kesenangan kepada keindahan dan kecantikan. Namun agama Islam menganjurkan untuk memadukan keindahan jasmani dengan keindahan rohani. Tuntunannya di samping berkaitan dengan inner beauty, yakni keindahan yang bersumber dari dalam seseorang, juga keindahan luar. Kecantikan wajah/luar hanya menyenangkan mata, sedangkan yang bersumber dari dalam akan menawan hati. Satu bukti perlunya penggabungan itu, Allah Swt memerintahkan manusia untuk tampil indah dan menjaga kebersihan, bahkan ketika menghadap-Nya di masjid.

Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, bahkan Nabi saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyenangi keindahan (kecantikan).” Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah, yaitu mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami-isteri dari yang melihatnya atau sikap tidak sopan dari siapa pun. Alquran membolehkan perempuan berjalan di hadapan laki-laki dan sebaliknya, tetapi diingatkan agar cara berjalannya jangan sampai mengundang perhatian (nafsu). Namun dewasa ini, perempuan sering terjebak dan lupa diri dengan mengatasnamakan kebebasan dan kecantikan, mereka rela tampil vulgar di depan umum, berpose dengan busana yang minim, dan lain-lain.

Secara fisik, pakaian dapat melindungi seseorang dari sengatan panas dan dingin, tetapi di sisi lain, pakaian juga berfungsi sebagai tanda keagungan budaya masyarakat atau orang yang menggunakannya. Memang harus diakui bahwa pakaian tidak menjadikan seseorang sebagai santri, tetapi ia dapat mendorong pemakainya untuk berprilaku seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari cara model pakaiannya. Pakaian terhormat mengundang seseorang untuk berprilaku serta mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh karena pakaian menggambarkan identitas diri.

Tidak patut
Mengikuti logika ini, tidak patut bagi yang telah melekat pada dirinya gelar keagamaan melakukan korupsi, menzalimi atau menyakiti orang lain, berkata kasar, mengeksploitasi anak, melakukan human trafficking dan lain-lain yang bertentangan dengan agama dan budaya. Tidak patut bagi seseorang yang menggunakan jubah tetapi berada di tempat prostitusi. Tidak layak juga seseorang yang menggunakan jilbab berada di tempat diskotik dan berkampanye mendukung kemunkaran seperti perilaku lesbian, gay, biseksual, trangender (LGBT) dan lain-lain, karena fungsi pakaian adalah perlindungan dan penghargaan.

Kini, banyak orang melalui media telah menjadikan penghargaan terhadap perempuan hanya terbatas pada fisik dan penampilannya. Seperti terlihat dalam sinetron, film, yang menampilkan anggota tubuhnya secara vulgar yang tidak lagi mengedepankan aspek budaya yang menginginkan anggota tubuh tertutup, tetapi menonjolkan aspek nafsu syahwat sehingga marendahkan derajat manusia. Mereka mengeksploitasi guna menarik keuntungan atas kesengsaraan perempuan dan kehancuran masyarakat.

Pakaian perempuan buat mereka bukan lagi berfungsi menutup badan, apalagi aurat, melainkan untuk membuka/memamerkan kecantikan, bahkan mengundang siapa pun untuk menatap apa yang dapat merangsang nafsu seksual laki-laki. Demikianlah pada akhirnya yang rugi adalah perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak keliru pribahasa yang berkata bahwa “sesuatu yang buruk jika telah berulang-ulang ditampilkan akan dinilai baik” oleh mereka yang tidak memiliki pegangan yang kuat.

Supaya generasi kita tidak tergoda dengan iming-iming gelar penghargaan sebagai “putri”, “miss”, dan lain-lain, sehingga rela mengorbankan harga diri dan kehormatannya. Mari kita bekali mereka pemahaman agama secara mendalam, bahwa menutup atau membuka tubuh adalah cerminan apakah seseorang termasuk makhluk berbudaya, berperadaban atau tidak. Bahkan fakta bahwa satu jenis kampanye LGBT di Indonesia melalui kegiatan modeling, maka patut kita waspadai. Wallahu a'lam bish-shawab.

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA., Ketua Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (Ikat) Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com

Mewaspadai Aliran LGBT di Aceh

♠ Posted by Agustin Hanafi



Oleh Agustin Hanafi

Mewaspadai Aliran LGBT di Aceh
SAAT ini, satu komunitas yang sangat mengerikan sedang merambah lingkungan kita. Ancamannya melebihi bahaya narkoba dan pornografi. Komunitas ini sedang berusaha mendapat dukungan dan mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah dan legal. Komunitas yang dimaksud adalah lesbianism, gay, bisexual and transexualism atau komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Kelompok ini identik dengan simbol warna pelangi dan gender yang berperilaku seperti kaum Nabi Luth as yang mencintai sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan atas nama kebebasan dan hak asasi manusia. LGBT bukan semata perilaku individu, sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata sebuah gaya hidup, tetapi sebuah harakah atau gerakan. Perilaku mereka persis seperti sebuah sekte, kultus atau gerakan-gerakan eksklusif lainnya, fanatik, eksklusif, penetratif dan indoktrinatif, dan telah berkembang menjadi sebuah sekte seksual.

Gerakannya sangat sistematis dan massif serta memiliki target yang jauh ke depan, yaitu agar eksistensinya sah dan legal, lalu menggiring kepada opini yang menganggap bahwa perilaku tersebut adalah wajar, tidak melawan fitrah, sama dengan manusia lainnya yang juga mempunyai hak untuk mendapat kehidupan di tengah masyarakat secara layak. Untuk itu mereka membutuhkan beberapa prasyarat: Pertama, jumlah mereka harus signifikan secara statistik, sehingga layak untuk mengubah asumsi publik. Kedua, keberadaan mereka telah memenuhi persyaratan populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas. Ketiga, perilaku mereka telah diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO.

Untuk memenuhi ketiga hal tersebut, maka komunitas ini harus mampu menularkan penyimpangannya secara intens kepada lingkungannya karena pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan. Menyadari akan hal ini, mereka melakukan penetrasi secara terselubung, terstruktur dengan memaksa dan sengaja merusak orang-orang normal, agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi darinya sebagaimana ikan yang terperangkap dalam jaringnya. Sasarannya adalah mahasiswa dan institusi akademik, karena mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat kost. Sedangkan institusi akademik perguruan tinggi mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas “kenormalan” mereka. Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM dan institusi internasional.

Sangat sistematis
Gerakan ini sangat sistematis dan selalu mengedepankan logika bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah ancaman yang membahayakan dengan membandingkannya dengan kaum radikal dan ekstremis, kemudian apa yang dilakukannya untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga, asas kesetaraan, mengurangi risiko kehamilan, dan lain-lain. Mereka juga sering mengatasnamakan toleransi, bahwa perilaku mereka dapat dimaklumi dan harus ditolerir. Untuk mewujudkan misinya ini, mereka sangat aktif berkampanye melalui tulisan, simbol dan gambar-gambar di media dengan sasaran utamanya adalah dunia kampus dan sekolah. Mereka secara terang-terangan menyebarkan penyakitnya ke seluruh elemen masyarakat melalui lobi-lobi politik dan sosial demi mendapatkan hak yang sama dengan orang-orang normal lainnya.
Konon, populasi mereka saban hari terus meningkat dan rutin mengadakan pertemuan-pertemuan untuk berdiskusi. Maka perilaku LGBT dan pernikahan sesama jenis jelas memberikan ancaman serius bagi institusi keluarga, permasalahan sosial, membahayakan tatanan sosial masyarakat manusia. Oleh karena itu patut kita waspada terhadap aliran seperti ini dengan memonitor serta mengontrol semua aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak kita, membentengi sanak keluarga dengan pemahaman ilmu agama yang komprehensif.

Perilaku seperti itu dan mendukung sekalipun adalah dosa besar, bentuk penyimpangan dan penyakit yang bertentangan dengan fitrah yang mana hewan pun tidak akan pernah melakukannya. Allah Swt menciptakan segala makhluk berpasang-pasangan sebagaimana firman-Nya: “(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu... tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Syura: 11).

Ungkapan ayat ini sangat indah dan menakjubkan bahwa bukan hanya manusia yang menikah atau berpasangan, semua makhluk memiliki pasangannya. Sepasang burung merpati berkicau dan bercumbu sambil merangkai sarangnya. Bunga-bunga yang mekar dengan indahnya, merayu burung dan lebah agar mengantar benihnya ke bunga yang lain untuk dibuahi. Bukan hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan atom pun yang negatif dan positif, elektron dan proton bertemu untuk saling menarik demi memelihara eksistensinya. Setiap makhluk memiliki naluri untuk memiliki pasangan dan berupaya bertemu dengan pasangannya. Tidak ada satu naluri yang lebih dalam dan lebih kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan dua lawan jenis, pria dan wanita, jantan dan betina, positif dan negatif.


Dengan demikian, dalam Islam hubungan seks bukanlah sesuatu yang tabu tetapi fitrah dan manusiawi, tetapi harus melalui jalur pernikahan yang sah. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam Islam, pernikahan bukanlah untuk tujuan melampiaskan nafsu syahwat semata tetapi ikatan yang sungguh sangat sakral, dan merupakan suatu perilaku ibadah kepada Allah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka bagaimana kebahagiaan akan tercapai bila itu dilakukan sesama jenis. Keluarga samara tidak mungkin terwujud dengan kepura-puraan dan sandiwara, bukankah tidak sedikit kasus yang mencintai sejenis akhirnya mati dibunuh pasangannya sendiri karena dibakar api cemburu.

Estafet kehidupan
Hal lain adalah setiap manusia menginginkan keturunan yang dapat meneruskan estafet kehidupan manusia yang diamanahkan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Maka tidaklah mungkin seseorang dengan orientasi seks seperti kaum LGBT menghasilkan anak yang akan menjadi perhiasan di dunia, karena hubungan yang dihasilkan semata-mata hanyalah untuk memenuhi kebutuhan jasmani semata.

Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sangat buruk dan keji, bahkan Alquran menamai hal ini sebagai fahisyah atau keburukan yang melampaui batas. Maka ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw: “Barangsiapa yang mengetahui ada yang melakukan perbuatan liwath (sodomi) sebagaimana yang dilakukan oleh Kaum Luth, maka bunuhlah kedua pasangan liwath tersebut.”

LGBT saat ini bukan isapan jempol belaka, tapi telah menjadi penyakit sosial kronis menular yang harus dicegah dan ditangani secara serius. Pegiat LBGT dengan berbagai cara mencari pembenaran atas penyakit yang mereka derita, dengan mengatakan bahwa LBGT bukanlah penyakit tetapi merupakan hak asasi manusia yang harus diperjuangkan sebagaimana hak-hak perempuan.

Mereka lupa bagaimana kaum Nabi Luth as diberikan azab oleh Allah berupa gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu akibat perbuatan mereka yang menikah sesama jenis sebagaimana diabadikan dalam Alquran: “Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka.” (QS. al-A'raf: 78). Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan kami hujani mereka dengan hujan (batu). Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang berbuat dosa itu.” (QS. al-A'raf: 84).

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA., Ketua Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, dan anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (Ikat-Aceh). Email: agustinhanafi77@yahoo.com

Mewujudkan Keluarga Sejahtera Melalui Ramadhan

♠ Posted by Agustin Hanafi
 
Mewujudkan Keluarga Sejahtera Melalui Ramadhan
 Dr. H. Agustin Hanafi, MA,

KATA sejahtera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai rasa aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan). Bagi sebagian masyarakat, kata sejahtera identik dengan kecukupan materi, sehingga jiwa menjadi tentram karena segala kebutuhan hidup telah terpenuhi. Bahkan orang tua pun senang apabila melihat anak dan menantunya hidup sejahtera, yakni terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Cukup sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan penunjang lainnya.

Adapun “sejahtera” dalam pandangan Islam bukanlah orang yang memiliki ekonomi mapan dan kekayaan yang melimpah sebagaimana anggapan sebagian orang, akan tetapi kemampuan seseorang yang dalam hal ini adalah suami atau istri untuk dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Tidak hanya sekadar kata cinta, namun menumbuhkembangkan rasa ikhlas di dalam hatinya. Orang yang telah menanamkan jiwa ikhlas, sesibuk apa pun kondisinya melayani pembeli namun ketika azan berkumandang, dia lebih memilih panggilan Ilahi yang mengajaknya shalat berjamaah.

Kalau dikaitkan dengan hubungan suami-isteri dalam rumah tangga, nilai kejujuran tersebut bisa dimaknai dengan semakin menghayati kesucian ikatan pernikahan yang telah diikrarkan berdua, benar-benar menjaganya, tidak berkhianat atau melakukan perbuatan yang membuat pasangannya curiga dan tidak nyaman dan bertanya-tanya. Kemudian suami-isteri jujur dan transparan dalam pendapatan dan penghasilan yang diperoleh secara halal, bukan dari hasil korupsi, merampok, dan lain-lain, kemudian bermusyawarah dalam penggunaannya untuk dibelanjakan di jalan Allah sehingga lahirlah generasi yang shaleh yang kelak akan mendoakan orang tuanya agar masuk surga.

Bersikap ikhlas
Karena memiliki jiwa ikhlas, dan menyadari betul bahwa hubungan suami-istri bukanlah seperti hubungan bisnis, maka masing-masing pihak selalu berusaha meringankan beban pasangannya dengan penuh rasa ikhlas, seorang istri misalnya, walau mencari nafkah adalah tugas utama suami. Tetapi istri dengan tulus membantu dan meringankan beban suami bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, walau istri bertanggung jawab menyangkut rumah tangga, kebersihan, penyiapan makanan, dan mengasuh anak, tetapi bukan berarti suami membiarkannya sendiri dengan bersikap cuek, tidak peduli dan bersikap masa bodoh.

Kemudian kualitas pengorbanan suami-isteri semakin meningkat, terlebih pada Ramadhan ini, misalnya suami akan mengurungkan niatnya untuk duduk-duduk di warung kopi selepas shalat Tarawih kalau memang itu dinilainya menghabiskan waktu dan kurang bermanfaat, karena dia meyakini bahwa minuman dan masakan istrinya jauh lebih nikmat, serta menumbuhkan kehangatan dan rasa cinta. Seorang istri akan mengorbankan waktunya demi suami dan anak-anak, sehingga memendam hasratnya untuk duduk-duduk di depan TV tetapi mempersiapkan menu buka puasa, makan sahur untuk suaminya walaupun dia letih dan kurang tidur. Meningkatkan kapasitas diri dengan mengaji, membaca, sehingga menjadi isteri yang berkualitas bagi suaminya dan pendidik yang bermutu bagi anak-anaknya.

Kemudian yang dianggap sejahtera adalah menyadari bahwa Allah itu benar-benar ada, Maha Melihat, pertolongan-Nya itu dekat dan benar-benar siksa-Nya itu berat. Mereka tidak mudah mengeluh dan putus asa dengan keadaan yang serba kekurangan, atau sakit yang datang menguji, tetapi dapat selalu bersyukur, sehingga terbentuk benteng iman yang kuat. Tidak menginginkan perceraian hanya karena persoalan materi dan sebagainya, tetapi wajahnya selalu berseri, dan besikap sangat santun, lemah lembut, hangat, akrab, selalu tersenyum, tertawa kepada pasangannya. Inilah suami dan istri yang ketika di rumah memberikan keteduhan, dan ketika pergi menyisakan rindu dan sedih di hati.

Sekali lagi, ukuran sejahtera bukanlah terletak pada materi, tetapi terletak pada kualitas iman dan kekayaan hati yang meyakini akan kebesaran Allah sehingga jauh dari sifat dengki, iri hati, fitnah, dan lain-lain. Kalau merujuk rumah tangga Rasulullah saw, bahwa hidupnya sangat sederhana, tidak bermewah-mewah, tidak bermegah-megah, tidak menumpuk harta. Dalam rumah beliau juga tidak ada pemandangan yang mencolok, yang ada hanyalah hamparan tikar, sebuah alas tidur yang terbentang bersih dan rapi, dan beberapa bejana yang sangat sederhana, bahkan nyaris tak ada harganya jika dijual.

Bekerja keras
Walaupun demikian, bukan berarti Nabi Muhammad saw menganjurkan umatnya untuk hidup miskin. Tetapi sebaliknya, menyuruh umatnya untuk selalu bekerja keras dan cerdas, berusaha dengan ulet dan tekun untuk mendapatkan rezeki yang halal sebanyak-banyaknya, sehingga mampu mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan lain-lain, yang merupakan pilar-pilar agama. Bahkan beliau sendiri tidak suka kepada umatnya yang mengemis sebagaimana dipahami dari sabdanya: “Bahwa tangan di atas lebih baik dan lebih mulia dari tangan di bawah.” Maka perlu dijiwai dan dihayati betul bahwa memberi lebih baik dan lebih terhormat ketimbang menadahkan tangan untuk meminta-minta.

Kemudian perlu disadari bahwa cinta tidak dapat direkayasa, tidak juga dapat dibeli dengan harta. Ia hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur dan kesetiaan kepada pasangan. Mari hiasi Ramadhan ini dengan amal ibadah, anggaplah kali ini Ramadhan terakhir bagi kita sehingga memotivasi diri untuk beribadah secara maksimal. Bukan memfokuskan diri mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya hanya untuk keperluan lebaran seperti pakaian baru, aneka kue, minuman warna-warni dan sebagainya.

Mewujudkan Keluarga Sakinah Melalui Puasa

♠ Posted by Agustin Hanafi
Konsep Meujudkan Keluarga Sejahatera


Dr. H. Agustin Hanafi, MA,

DARI semua bentuk ibadah, puasa adalah ibadah yang paling pribadi, personal (private), tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui, dan apalagi menilainya. Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan hubungan suami-isteri, nilai yang ditanamkan oleh ibadah puasa adalah kejujuran dan kesetiaan. Misalnya penghasilan yang diperoleh suami adalah benar-benar halal, bukan dengan cara korupsi, mencuri, merampok, dan lainnya. Juga bersikap jujur dan transparan kepada isteri, misalnya, memberitahu berapa penghasilan yang diperolehnya dan untuk apa saja dia belanjakan, sehingga yang dapat diberikan kepada isteri hanya dalam jumlah tertentu saja.

Begitu juga ketika tiba di rumah -sepulang dari kantor- hingga menjelang Magrib dengan dalih lembur atau mengerjakan ini itu, padahal baru saja menghabiskan waktu bersama teman atau wanita lain di tempat hiburan, cafe, warung kopi atau lainnya, seolah-olah memiliki beban kerja yang luar biasa berat, sehingga terlihat tidak berdaya yang membuat isteri merasa iba sehingga mengurungkan niat untuk meminta haknya.

Sekiranya suami dan isteri atau salah satu pihak dari keduanya tidak jujur dan tidak setia, isteri atau suami tidak pernah akan bisa tenang dan tenteram di dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan demikian, keluarga sakinah yang selama ini menjadi dambaan semua pasangan hidup, rasanya sulit terwujud. Kejujuran dan keterbukaan dalam sebuah rumah tangga sesuatu yang sangat penting, bahkan dalam satu riwayat, seseorang meminta nasehat kepada Nabi saw dan Nabi pun berpetuah: “Jangan berdusta, dan hendaklah teguh hati.” Maksudnya jujurlah dalam hidup keseharianmu (jangan pernah berdusta), termasuk kepada isteri atau suami, serta anak dan orang tua.

Nilai lain adalah amanah dan tanggung jawab. Keluarga adalah amanah Allah yang harus dijaga, diayomi dan dilindungi, tidak mengabaikan isteri dan anak demi kepentingan sendiri. Menunaikan kewajiban dan tanggung jawab kekeluargaan bukanlah sekedar tugas atau rutinitas, tetapi lebih dari itu yakni merupakan kewajiban dan keutamaan yang dihargai tinggi. Kewajiban dan tanggung jawab suami-isteri hendaknya dilakukan dengan cara yang tidak menggurui atau merendahkan salah satu pihak, apalagi dengan memaksakan kehendak dan mau menang sendiri. Di dalam sebuah hadis riwayat Ibn Hibban disebutkan: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.”

Dalam berumah tangga antara suami-isteri memiliki kedudukan yang seimbang, oleh karena itu, rasa egois semestinya dapat dihilangkan dari kepribadian seorang suami dan isteri. Sikap terbuka dari seorang suami terhadap kritik dari isteri dan anak, mau bermusyawarah, mendengar keluhan isteri dan anak, tidak melecehkan, mau menanyakan kabar isteri dan anak walaupun sedang sibuk bekerja di kantor, di lapangan adalah perilaku yang baik dan terpuji. Keikhlasan seorang isteri menyiapkan makan sahur, menu buka puasa merupakan bentuk ibadah yang pahalanya besar, tutur kata yang lembut, wajah yang jernih selalu berseri serta senyum yang santun dan tulus menghias wajah ketika berada di samping suami atau isteri adalah bagian dari sedekah.

Puasa juga merupakan pengendalian diri dari sikap emosi, sekiranya ada masalah dalam rumah tangga, maka selesaikan dengan sikap arif dan bijak tanpa harus bersikap reaktif dan marah sebagaimana yang dicontohkan baginda Rasulullah. Nabi pernah mendapati Aisyah tengah marah besar terhadapnya, tetapi Nabi tidak bertindak reaktif, tak tampak sama sekali beliau marah, malah membias senyum di bibir Nabi.

Nilai lainnya yang diajarkan melalui puasa adalah bersikap santun dan sabar. Suami-isteri dituntut untuk bersabar atas berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada pada pasangannya, misalnya suami tidak mampu membelikan istri baju baru karena kondisi ekonomi yang tidak mengizinkan atau isteri kurang memiliki keterampilan dalam menata rumah, membuat aneka kue untuk menyambut lebaran nanti, hendaknya masing-masing pihak menyikapinya dengan dewasa, dan bijaksana.

Dalam sebuah rumah tangga, perbedaan pendapat pasti akan terjadi dan itu merupakan hal yang lumrah dan alamiah, karena tidak ada makhluk yang sempurna, oleh karena itu bisa saja apa yang kamu benci dari pasanganmu menyimpan sekian banyak kelebihan yang tidak kamu ketahui. Oleh karena itu usahakan secara sungguh-sungguh agar rahasia rumah tangga, kesulitan yang dihadapi, penderitaan yang dirasakan jangan bocor kepada rekan kerja atau teman sebaya yang belum diketahui ketulusan hatinya.

Jika pada suatu saat nanti terpaksa meminta bantuan pihak lain, maka sampaikan kepada orang tua, atau sekiranya merasa risih maka sampaikan kepada anggota keluarga lain yang lebih tua terlebih dulu. Kemudian nilai lain adalah kebersamaan waktu berbuka puasa dan makan sahur memberikan dampak positif bagi keluarga karena memberi kehangatan yang dapat menumbuhkan keharmonisan dan ketenteraman.

Akhirnya, apabila masing-masing pihak melaksanakannya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan maka keluarga sakinah yang didambakan mudah-mudahan dapat terwujud yang ukurannya adalah masing-masing pihak akan teringat kepada pasangannya serta berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan pasangannya itu di manapun dia berada terlebih ketika di bulan suci Ramadhan ini.

Mengintip Fenomena perceraian di Aceh

♠ Posted by Agustin Hanafi


Dr. Agustin Hanafi, MA
 
PASCATSUNAMI 2004, angka perceraian di Aceh meningkat tajam. Dari 233 kasus yang masuk ke Mahkamah Syar’iyah, misalnya, perkara gugat cerai sebanyak 158 kasus dan cerai talak 45 kasus. Faktor utama sebagian besar kasus gugat cerai adalah karena krisis moral dan tidak adanya tanggung jawab suami (Serambi, 5/9/2012). Bahkan, hasil penelusuran penulis, angka perceraian di Aceh meningkat hingga tiga kali lipat pascatsunami. Gugatan cerai sebagian besar datang dari pihak istri dengan kesalahan ada pada pihak suami, entah karena poligami liar, selisih paham dan lain-lain.

Fenomena seperti ini sebenarnya sungguh menarik, mengapa kasus perceraian banyak terkuak setelah tsunami. Apakah karena banyak perempuan yang sudah bisa hidup mandiri tanpa perlu bergantung dan berharap banyak pada suami, atau karena banyaknya pencerahan yang diperoleh perempuan melalui training, pelatihan, workshop, atau seminar ilmiah sehingga mereka menyadari betul apa yang dialaminya selama ini. Atau karena meningkatnya taraf hidup pascatsunami yang menyebabkan suami dengan mudah menyeleweng, atau karena minimnya pengetahuan agama sehingga kurang memahami esensi dari sebuah perkawinan yang telah dibina.
 
Hakikat perkawinan

Hakikat dari sebuah perkawinan baik sebagaimana disebutkan dalam Alquran maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bukan hanya sekadar akad semata yang menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram, akan tetapi ia adalah ikatan yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan) sebagaimana termaktub dalam Surah An-Nisa’ ayat 21, yang mempunyai tujuan sangat luhur. Sementara Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan pula: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Firman Allah swt: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Ruum: 21). Kemudian Allah juga berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf” (QS. Al-Baqarah: 228).

Oleh karena itu antara suami dan istri memiliki kedudukan sederajat, tidak ada yang merasa superior dan inferior, maka antara satu pihak dengan yang lain harus saling menghargai dan menghormati. Dalam Perkawinan juga tertera hak dan kewajiban antara suami-isteri yang harus dijaga dan diperhatikan. Hak suami merupakan kewajiban bagi istri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi istri.
 
Kewajiban suami-istri
Adapun kewajiban suami terhadap istrinya terbagi atas kewajiban yang bersifat materi (nafkah) dan kewajiban yang tidak bersifat materi. Kewajiban nonmateri ini antara lain: Menggauli istrinya secara baik dan patut (QS. An-Nisa’: 19); Menjaga ucapan dan perbuatan jangan sampai merusak dan menyakiti perasaan sang istri; Menjaga istri dari perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan marabahaya, dan; Mewujudkan kehidupan perkawinan yang sakinah, mawaddah, warahmah (QS. Ar-Ruum: 21).

Sedangkan kewajiban istri terhadap suaminya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung, yakni: Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya; Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga, rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya; Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat; Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah; Menjauhkan dirinya dari segala perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya, dan; Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar.

Di samping kewajiban sebagaimana disinggung di atas, keduanya juga memiliki hak. Hak bersama suami-istri antara lain: Bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya; Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, dan; Hubungan saling mewarisi di antara suami-istri.

Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama-sama adalah memelihara dan mendidik anak, serta memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Amir Syarifuddin, 2006). Suami-istri harus saling mencintai dan saling berbuat baik, tidak boleh menyakiti satu sama lain, tidak boleh menunda hak-haknya selama dalam batas kesanggupannya, tidak memperlihatkan kebencian dan ketidaksenangan, tetapi memperlakukannya dengan penuh cinta kasih.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Nabi Muhammad saw bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang besikap baik kepada kelurganya, dan saya bersikap baik kepada keluarga saya, seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik budi pekertinya, dan selalu bersikap baik kepada istrinya.” Dalam Alquran, Surah An-Nisa’ ayat 34 disebutkan seorang suami sebagai qawwam yaitu penuntun, pelindung, dan pengayom bagi istrinya berdasarkan tanggung jawab yang dimilikinya.

Berdasarkan nash di atas, seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang ma‘ruf, tidak semena-mena apalagi sampai menzaliminya. Kemudian, suami juga wajib berusaha memenuhi hak istri dan tidak boleh menundanya. Seorang suami dituntut untuk menggunakan waktu dengan baik demi terpenuhinya kebutuhan keluarga, jangan berkeluh-kesah atau putus asa dengan keadaan, akan tetapi selalu berusaha demi mendapatkan ridha dan keberkahan Allah.
 
Nafkah lahir-batin
Di manapun berada harus ingat akan rambu-rambu Allah dan selalu berusaha untuk menjaga ikatan yang ada. Waktu yang dimiliki jangan dihabiskan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, hendaknya semua itu diniatkan untuk mencukupi hak istri dan keluarga, karena di rumah ada istri dan anak yang membutuhkan nafkah lahir batin.

Sekiranya perempuan telah mendapatkan bekal untuk hidup mandiri atau pencerahan melalui training atau pelatihan sejenisnya, hendaklah pengetahuannya itu dijadikan alasan kuat untuk mempertahankan mahligai rumah tangga. Janganlah itu semua dijadikan alasan untuk menggugat suami tanpa didasari oleh alasan yang kuat, karena yang namanya perceraian adalah sebuah solusi dan alternatif terakhir sekiranya semua jalan lain seperti mediasi atau perdamaian menemui jalan buntu.

Alquran tidak menyukai perceraian terjadi dengan tergesa-gesa, hal itu hanya boleh dilakukan pada kondisi darurat, dan merupakan jalan terakhir keluar dari kemelut rumah tangga bagi pasangan suami-istri, di mana kedua belah pihak atau salah satunya akan mendapat mudharat bila tidak dilakukanDengan kata lain perceraian baru diperbolehkan jika tidak ada jalan lain, atau dapat menimbulkan dampak negatif yang besar dalam membina rumah tangga. Dalam bahasa agama perceraian adalah perbuatan yang dihalalkan, tetapi dibenci oleh syari’ karena di samping dampaknya terhadap suami-istri, juga keluarga (anak-anak) yang membutuhkan figur ayah dan ibu.

* Dr. Agustin Hanafi, MA, Pengasuh Mata Kuliah Hukum Keluarga Islam di Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com


Perempuan dalam Pandangan Islam

♠ Posted by Agustin Hanafi
Perempuan dalam Pandangan Islam

Dr. H. Agustin Hanafi, MA

SEBELUM Islam datang, kondisi perempuan sangat memprihatinkan, baik di Jazirah Arab maupun di wilayah-wilayah lain di seluruh belahan dunia. Di Yunani, misalnya, perempuan disekap dan ditempatkan dalam istana-istana, mereka diperjualbelikan, tidak memiliki hak-hak sipil, dan hak waris. Dalam kode hukum Hammurabi dan kode hukum Assyria terlihat bahwa perempuan dipandang sebagai benda yang dapat digantikan dengan nilai ekonomis. Kedudukan mereka sebagai isteri hanya dipandang sebagai alat repreduksi untuk memperoleh keturunan dan suami mempunyai hak mutlak terhadap mereka.

Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di Mesopotamia dilegitimasi dengan mengatasnamakan agama dari zaman Achaemenid hingga zaman Sasania. Dalam agama ini juga diyakini bahwa perempuan adalah ladang, segala sesuatu yang tumbuh di sana adalah miliki empunya, sekalipun ia tidak menanamnya. Meminjamkan isteri dipandang oleh para ahli hukum Sasania sebagai sebuah tindakan persaudaraan, suatu tindakan solidaritas dengan sesama anggota komunitas yang dipandang suci sebagai kewajiban agama.

Dalam hukum Romawi, wanita diperlakukan seperti anak kecil atau orang gila. Mereka tidak memiliki hak milik dan dinggap hanya sebagai sosok tanpa pribadi. Seorang kepala keluarga boleh menjual siapa pun yang dikehendakinya dari sekian banyak wanita yang berada di bawah tanggungannya. Ia berkuasa atas wanita-wanita itu sejak lahir hingga mereka meninggal dunia (Mutawalli as-Sya‘rawi, 2006, hlm.7).

Sumber godaan seksual
Perempuan dianggap sebagai sumber petaka, sumber godaan seksual, korupsi, dan kejahatan. Augustine merenungkan tentang ihwal misteri mengapa Tuhan menciptakan perempuan. Dalam mayasrakat Yahudi, wanita dianggap sama derajatnya dengan para pembantu, ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari sorga (M. Quraish Shihab, 1996, hlm. 297).

Sedangkan dalam masyarakat Arab menjelang kelahiran Islam, keadaannya tidaklah lebih baik. Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan dengan persoalan perempuan di zaman Jahiliah. Bila diukur dengan kebebasan, secara umum status perempuan sangatlah inferior di masyarakat pra-Islam. Dalam masyarakat Mekkah seorang ayah boleh saja membunuh anaknya sekiranya lahir perempuan. Pada zaman itu ada keyakinan bahwa setiap anak perempuan yang lahir harus dibunuh, karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah, seperti budak atau mawali.

Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan masih sangat memprihatinkan. Di Inggris, misalnya, dalam perundang-undangannya sampai 1805 mengakui hak suami untuk menjual isterinya. Sampai 1882 wanita Inggris tak memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh dan tak punya hak menuntut ke pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill yang merupakan dokter wanita pertama di dunia menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya memboikot dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana (M. Quraish Shihab, 1996, hlm. 296).

Posisi terhormat
Mengenai kedudukan perempuan, Islam menempatkannya pada posisi yang terhormat dan mulia, hak-hak sipilnya terlindungi tanpa ada diskriminasi. Sejak awal sejarah manusia, dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan, sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Dalam tradisi Islam, seorang suami juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan komitmen pribadi seorang perempuan dengan Tuhan-Nya. Bahkan dalam urusan-urusan keduniaan pun perempuan memperoleh hak-hak sebagaimana halnya yang diperoleh laki-laki.

Dalam suatu ketika Nabi didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan dukungan politik (bai’ah), maka peristiwa langka ini menyebabkan turunnya QS. al-Mumtahanah/60:12). Islam mengembalikan hak-hak wanita yaitu dengan memberi warisan kepada perempuan, menganggap bahwa asal usul manusia adalah sama dengan laki-laki, Islam juga memberikan kepemilikan penuh kepada perempuan terhadap hartanya, bahkan tidak boleh pihak lain ikut campur kecuali setelah mendapat izin darinya (Salim Abd al-Ghani ar-Rafi‘I, 2002, hlm.105-106).

Apabila perempuan berbuat sesuatu, maka pahala mereka sama dengan apa yang diperbuat oleh laki-laki. Perempuan juga dijamin oleh Alquran sebagaimana laki-laki bisa mencapai kesempurnaan dalam ketakwaan. Perempuan juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan pasangan hidupnya, bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa. Islam juga memberikan hak yang sama kepada perempuan dalam mengakhiri kehidupan berumah tangga yaitu dengan cara khulu.

Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu, bahkan mereka hadir dalam majelis Nabi saw tanpa ada perbedaan yang merdeka dengan budak. Pada masa Nabi Muhammad, kalangan perempuan bisa dan boleh melakukan aktivitas sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki.

Menurut catatan Ruth Roded, perempuan yang berhubungan dengan Nabi pada masa awal Islam tidak hanya isteri-isteri Nabi sebagaimana dikesankan oleh penulis Islam. Menurutnya ada 1.200 perempuan dari beribu-ribu sahabat yang berhubungan langsung dengan Nabi. Mereka ini bukan perempuan yang pasif. Mereka melakukan gerakan, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan masyrakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati dan menghargai perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara mutlak.

Islam menghapus tradisi Jahiliyah yang begitu diskriminatif terhadap perempuan. Dalam Islam laki-laki dan perempuan dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas ber-tasharruf, di mana satu sama lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Islam mengangkat derajat seorang perempuan dan memberinya kebebasan, kehormatan, serta kepribadian yang independen. Bahkan, dalam Alquran tidak ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu.

Dilihat dari konteks praktik kaum Jahiliah, maka akan tampak bahwa Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari keterkungkungan, kebodohan dan penindasan. Hukum Islam merupakan sebuah revolusi. Alquran meningkatkan status sosial perempuan dan meletakkan norma-norma yang jelas, sebagai penentangan terhadap adat dan kebiasaan. Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai kartel yang diperdagangkan atau obyek nafsu seksual. Perempuan yang kawin dijelaskan oleh Alquran sebagai muhshanat, yakni suci dan aman.

Status yang jelas
Alquran tidak hanya menentang semua praktik kesewenang-wenangan, tetapi juga menanamkan norma-norma yang pasti dan memberi perempuan status yang jelas. Alquran telah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam justeru telah mengangkat harkat dan martabat perempuan dari penghinaan dan pembantaian oleh kaum laki-laki pada zaman Jahiliyah. Alquran secara berulang-ulang menekankan martabat perempuan, haknya, dan juga harus diperlakukan secara baik.

Oleh karena itu, sangat disayangkan sekiranya ada pemahaman bahwa perempuan hanya boleh berkutat di kasur, dapur, dan sumur. Perempuan bebas menempuh pendidikan setinggi-tingginya, apalagi Islam membebaskan manusia dari kebodohan. Hal ini dibuktikan bahwa ayat Alquran pertama sekali turun adalah iqra’ (bacalah), sehingga perempuan bisa berperestasi. Bahkan, Iblis lebih takut dengan orang yang berilmu ketimbang yang hanya beribadah tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan yang memadai.

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA, Staf Pengajar pada Jurusan Syariah Ahwal as-Syakhsiyah (SAS), Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com

[BUKU] Perceraian Dalam Perspektif Fiqh dan Perundang-undangan Indonesia

♠ Posted by Agustin Hanafi
[BUKU] Perceraian Dalam Perspektif Fiqh dan Perundang-undangan Indonesia





BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Talak diakui dalam ajaran Islam sebagai jalan terakhir keluar dari kemelut rumah tangga bagi pasangan suami-isteri, di mana kedua belah pihak atau salah satunya akan mendapat mudarat bila tidak dilakukan. Dengan kata lain, talak baru diperbolehkan jika tidak ada jalan lain, atau dapat menimbulkan dampak negatif yang besar dalam membina rumah tangga.[1]