Tulisan Agustin Hanafi

" Berkelas "

Perempuan dalam Pandangan Islam

♠ Posted by Agustin Hanafi at 00.32
Perempuan dalam Pandangan Islam

Dr. H. Agustin Hanafi, MA

SEBELUM Islam datang, kondisi perempuan sangat memprihatinkan, baik di Jazirah Arab maupun di wilayah-wilayah lain di seluruh belahan dunia. Di Yunani, misalnya, perempuan disekap dan ditempatkan dalam istana-istana, mereka diperjualbelikan, tidak memiliki hak-hak sipil, dan hak waris. Dalam kode hukum Hammurabi dan kode hukum Assyria terlihat bahwa perempuan dipandang sebagai benda yang dapat digantikan dengan nilai ekonomis. Kedudukan mereka sebagai isteri hanya dipandang sebagai alat repreduksi untuk memperoleh keturunan dan suami mempunyai hak mutlak terhadap mereka.

Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di Mesopotamia dilegitimasi dengan mengatasnamakan agama dari zaman Achaemenid hingga zaman Sasania. Dalam agama ini juga diyakini bahwa perempuan adalah ladang, segala sesuatu yang tumbuh di sana adalah miliki empunya, sekalipun ia tidak menanamnya. Meminjamkan isteri dipandang oleh para ahli hukum Sasania sebagai sebuah tindakan persaudaraan, suatu tindakan solidaritas dengan sesama anggota komunitas yang dipandang suci sebagai kewajiban agama.

Dalam hukum Romawi, wanita diperlakukan seperti anak kecil atau orang gila. Mereka tidak memiliki hak milik dan dinggap hanya sebagai sosok tanpa pribadi. Seorang kepala keluarga boleh menjual siapa pun yang dikehendakinya dari sekian banyak wanita yang berada di bawah tanggungannya. Ia berkuasa atas wanita-wanita itu sejak lahir hingga mereka meninggal dunia (Mutawalli as-Sya‘rawi, 2006, hlm.7).

Sumber godaan seksual
Perempuan dianggap sebagai sumber petaka, sumber godaan seksual, korupsi, dan kejahatan. Augustine merenungkan tentang ihwal misteri mengapa Tuhan menciptakan perempuan. Dalam mayasrakat Yahudi, wanita dianggap sama derajatnya dengan para pembantu, ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari sorga (M. Quraish Shihab, 1996, hlm. 297).

Sedangkan dalam masyarakat Arab menjelang kelahiran Islam, keadaannya tidaklah lebih baik. Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan dengan persoalan perempuan di zaman Jahiliah. Bila diukur dengan kebebasan, secara umum status perempuan sangatlah inferior di masyarakat pra-Islam. Dalam masyarakat Mekkah seorang ayah boleh saja membunuh anaknya sekiranya lahir perempuan. Pada zaman itu ada keyakinan bahwa setiap anak perempuan yang lahir harus dibunuh, karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah, seperti budak atau mawali.

Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan masih sangat memprihatinkan. Di Inggris, misalnya, dalam perundang-undangannya sampai 1805 mengakui hak suami untuk menjual isterinya. Sampai 1882 wanita Inggris tak memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh dan tak punya hak menuntut ke pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill yang merupakan dokter wanita pertama di dunia menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya memboikot dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana (M. Quraish Shihab, 1996, hlm. 296).

Posisi terhormat
Mengenai kedudukan perempuan, Islam menempatkannya pada posisi yang terhormat dan mulia, hak-hak sipilnya terlindungi tanpa ada diskriminasi. Sejak awal sejarah manusia, dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan, sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Dalam tradisi Islam, seorang suami juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan komitmen pribadi seorang perempuan dengan Tuhan-Nya. Bahkan dalam urusan-urusan keduniaan pun perempuan memperoleh hak-hak sebagaimana halnya yang diperoleh laki-laki.

Dalam suatu ketika Nabi didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan dukungan politik (bai’ah), maka peristiwa langka ini menyebabkan turunnya QS. al-Mumtahanah/60:12). Islam mengembalikan hak-hak wanita yaitu dengan memberi warisan kepada perempuan, menganggap bahwa asal usul manusia adalah sama dengan laki-laki, Islam juga memberikan kepemilikan penuh kepada perempuan terhadap hartanya, bahkan tidak boleh pihak lain ikut campur kecuali setelah mendapat izin darinya (Salim Abd al-Ghani ar-Rafi‘I, 2002, hlm.105-106).

Apabila perempuan berbuat sesuatu, maka pahala mereka sama dengan apa yang diperbuat oleh laki-laki. Perempuan juga dijamin oleh Alquran sebagaimana laki-laki bisa mencapai kesempurnaan dalam ketakwaan. Perempuan juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan pasangan hidupnya, bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa. Islam juga memberikan hak yang sama kepada perempuan dalam mengakhiri kehidupan berumah tangga yaitu dengan cara khulu.

Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu, bahkan mereka hadir dalam majelis Nabi saw tanpa ada perbedaan yang merdeka dengan budak. Pada masa Nabi Muhammad, kalangan perempuan bisa dan boleh melakukan aktivitas sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki.

Menurut catatan Ruth Roded, perempuan yang berhubungan dengan Nabi pada masa awal Islam tidak hanya isteri-isteri Nabi sebagaimana dikesankan oleh penulis Islam. Menurutnya ada 1.200 perempuan dari beribu-ribu sahabat yang berhubungan langsung dengan Nabi. Mereka ini bukan perempuan yang pasif. Mereka melakukan gerakan, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan masyrakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati dan menghargai perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara mutlak.

Islam menghapus tradisi Jahiliyah yang begitu diskriminatif terhadap perempuan. Dalam Islam laki-laki dan perempuan dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas ber-tasharruf, di mana satu sama lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Islam mengangkat derajat seorang perempuan dan memberinya kebebasan, kehormatan, serta kepribadian yang independen. Bahkan, dalam Alquran tidak ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu.

Dilihat dari konteks praktik kaum Jahiliah, maka akan tampak bahwa Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari keterkungkungan, kebodohan dan penindasan. Hukum Islam merupakan sebuah revolusi. Alquran meningkatkan status sosial perempuan dan meletakkan norma-norma yang jelas, sebagai penentangan terhadap adat dan kebiasaan. Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai kartel yang diperdagangkan atau obyek nafsu seksual. Perempuan yang kawin dijelaskan oleh Alquran sebagai muhshanat, yakni suci dan aman.

Status yang jelas
Alquran tidak hanya menentang semua praktik kesewenang-wenangan, tetapi juga menanamkan norma-norma yang pasti dan memberi perempuan status yang jelas. Alquran telah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam justeru telah mengangkat harkat dan martabat perempuan dari penghinaan dan pembantaian oleh kaum laki-laki pada zaman Jahiliyah. Alquran secara berulang-ulang menekankan martabat perempuan, haknya, dan juga harus diperlakukan secara baik.

Oleh karena itu, sangat disayangkan sekiranya ada pemahaman bahwa perempuan hanya boleh berkutat di kasur, dapur, dan sumur. Perempuan bebas menempuh pendidikan setinggi-tingginya, apalagi Islam membebaskan manusia dari kebodohan. Hal ini dibuktikan bahwa ayat Alquran pertama sekali turun adalah iqra’ (bacalah), sehingga perempuan bisa berperestasi. Bahkan, Iblis lebih takut dengan orang yang berilmu ketimbang yang hanya beribadah tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan yang memadai.

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA, Staf Pengajar pada Jurusan Syariah Ahwal as-Syakhsiyah (SAS), Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar