Tulisan Agustin Hanafi

" Berkelas "

Mengintip Fenomena perceraian di Aceh

♠ Posted by Agustin Hanafi at 00.47


Dr. Agustin Hanafi, MA
 
PASCATSUNAMI 2004, angka perceraian di Aceh meningkat tajam. Dari 233 kasus yang masuk ke Mahkamah Syar’iyah, misalnya, perkara gugat cerai sebanyak 158 kasus dan cerai talak 45 kasus. Faktor utama sebagian besar kasus gugat cerai adalah karena krisis moral dan tidak adanya tanggung jawab suami (Serambi, 5/9/2012). Bahkan, hasil penelusuran penulis, angka perceraian di Aceh meningkat hingga tiga kali lipat pascatsunami. Gugatan cerai sebagian besar datang dari pihak istri dengan kesalahan ada pada pihak suami, entah karena poligami liar, selisih paham dan lain-lain.

Fenomena seperti ini sebenarnya sungguh menarik, mengapa kasus perceraian banyak terkuak setelah tsunami. Apakah karena banyak perempuan yang sudah bisa hidup mandiri tanpa perlu bergantung dan berharap banyak pada suami, atau karena banyaknya pencerahan yang diperoleh perempuan melalui training, pelatihan, workshop, atau seminar ilmiah sehingga mereka menyadari betul apa yang dialaminya selama ini. Atau karena meningkatnya taraf hidup pascatsunami yang menyebabkan suami dengan mudah menyeleweng, atau karena minimnya pengetahuan agama sehingga kurang memahami esensi dari sebuah perkawinan yang telah dibina.
 
Hakikat perkawinan

Hakikat dari sebuah perkawinan baik sebagaimana disebutkan dalam Alquran maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bukan hanya sekadar akad semata yang menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram, akan tetapi ia adalah ikatan yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan) sebagaimana termaktub dalam Surah An-Nisa’ ayat 21, yang mempunyai tujuan sangat luhur. Sementara Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan pula: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Firman Allah swt: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Ruum: 21). Kemudian Allah juga berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf” (QS. Al-Baqarah: 228).

Oleh karena itu antara suami dan istri memiliki kedudukan sederajat, tidak ada yang merasa superior dan inferior, maka antara satu pihak dengan yang lain harus saling menghargai dan menghormati. Dalam Perkawinan juga tertera hak dan kewajiban antara suami-isteri yang harus dijaga dan diperhatikan. Hak suami merupakan kewajiban bagi istri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi istri.
 
Kewajiban suami-istri
Adapun kewajiban suami terhadap istrinya terbagi atas kewajiban yang bersifat materi (nafkah) dan kewajiban yang tidak bersifat materi. Kewajiban nonmateri ini antara lain: Menggauli istrinya secara baik dan patut (QS. An-Nisa’: 19); Menjaga ucapan dan perbuatan jangan sampai merusak dan menyakiti perasaan sang istri; Menjaga istri dari perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan marabahaya, dan; Mewujudkan kehidupan perkawinan yang sakinah, mawaddah, warahmah (QS. Ar-Ruum: 21).

Sedangkan kewajiban istri terhadap suaminya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung, yakni: Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya; Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga, rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya; Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat; Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah; Menjauhkan dirinya dari segala perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya, dan; Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar.

Di samping kewajiban sebagaimana disinggung di atas, keduanya juga memiliki hak. Hak bersama suami-istri antara lain: Bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya; Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, dan; Hubungan saling mewarisi di antara suami-istri.

Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama-sama adalah memelihara dan mendidik anak, serta memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Amir Syarifuddin, 2006). Suami-istri harus saling mencintai dan saling berbuat baik, tidak boleh menyakiti satu sama lain, tidak boleh menunda hak-haknya selama dalam batas kesanggupannya, tidak memperlihatkan kebencian dan ketidaksenangan, tetapi memperlakukannya dengan penuh cinta kasih.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Nabi Muhammad saw bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang besikap baik kepada kelurganya, dan saya bersikap baik kepada keluarga saya, seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik budi pekertinya, dan selalu bersikap baik kepada istrinya.” Dalam Alquran, Surah An-Nisa’ ayat 34 disebutkan seorang suami sebagai qawwam yaitu penuntun, pelindung, dan pengayom bagi istrinya berdasarkan tanggung jawab yang dimilikinya.

Berdasarkan nash di atas, seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang ma‘ruf, tidak semena-mena apalagi sampai menzaliminya. Kemudian, suami juga wajib berusaha memenuhi hak istri dan tidak boleh menundanya. Seorang suami dituntut untuk menggunakan waktu dengan baik demi terpenuhinya kebutuhan keluarga, jangan berkeluh-kesah atau putus asa dengan keadaan, akan tetapi selalu berusaha demi mendapatkan ridha dan keberkahan Allah.
 
Nafkah lahir-batin
Di manapun berada harus ingat akan rambu-rambu Allah dan selalu berusaha untuk menjaga ikatan yang ada. Waktu yang dimiliki jangan dihabiskan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, hendaknya semua itu diniatkan untuk mencukupi hak istri dan keluarga, karena di rumah ada istri dan anak yang membutuhkan nafkah lahir batin.

Sekiranya perempuan telah mendapatkan bekal untuk hidup mandiri atau pencerahan melalui training atau pelatihan sejenisnya, hendaklah pengetahuannya itu dijadikan alasan kuat untuk mempertahankan mahligai rumah tangga. Janganlah itu semua dijadikan alasan untuk menggugat suami tanpa didasari oleh alasan yang kuat, karena yang namanya perceraian adalah sebuah solusi dan alternatif terakhir sekiranya semua jalan lain seperti mediasi atau perdamaian menemui jalan buntu.

Alquran tidak menyukai perceraian terjadi dengan tergesa-gesa, hal itu hanya boleh dilakukan pada kondisi darurat, dan merupakan jalan terakhir keluar dari kemelut rumah tangga bagi pasangan suami-istri, di mana kedua belah pihak atau salah satunya akan mendapat mudharat bila tidak dilakukanDengan kata lain perceraian baru diperbolehkan jika tidak ada jalan lain, atau dapat menimbulkan dampak negatif yang besar dalam membina rumah tangga. Dalam bahasa agama perceraian adalah perbuatan yang dihalalkan, tetapi dibenci oleh syari’ karena di samping dampaknya terhadap suami-istri, juga keluarga (anak-anak) yang membutuhkan figur ayah dan ibu.

* Dr. Agustin Hanafi, MA, Pengasuh Mata Kuliah Hukum Keluarga Islam di Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar