♠ Posted by Agustin Hanafi at 02.36
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Talak diakui dalam ajaran Islam sebagai jalan
terakhir keluar dari kemelut rumah tangga bagi pasangan suami-isteri, di mana
kedua belah pihak atau salah satunya akan mendapat mudarat bila tidak dilakukan. Dengan kata lain, talak baru diperbolehkan
jika tidak ada jalan lain, atau dapat menimbulkan dampak negatif yang besar
dalam membina rumah tangga.[1]
Dalam bahasa agama talak adalah perbuatan
yang dihalalkan tetapi dibenci oleh Syari’,[2] sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلّي الله عليه و سلّم أبغض الحلال الي الله الطلاق (رواه أبو داود).[3]
Artinya: Dari
Ibn ‘Umar Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.
(H.R. Abu Dawud).
Nas berikut merupakan penjelasan mengenai
kebolehan talak bila jalan lain tidak bisa ditempuh:
Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa’ {4}: 35:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz .
Artinya: Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dan firman Allah swt dalam
Q.S. At-Thalaq
{65}: 1
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# #sÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6/u ( w Æèdqã_ÌøéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ wur Æô_ãøs HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# 4 `tBur £yètGt yrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 w Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºs #\øBr&
Artinya: Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru.
Kedua
ayat di atas menegaskan bahwa sekiranya terjadi percekcokan antara suami-isteri,
atau isteri melakukan perbuatan keji sekalipun, Syari‘ tidak serta merta mengizinkan suami menempuh talak dengan
gegabah akan tetapi harus menempuh jalan damai sehingga keutuhan rumah tangga
dapat dipertahankan.
Dengan demikian, talak dalam Islam
merupakan alternatif terakhir bila usaha untuk mendamaikan kedua pasangan
suami-isteri tersebut tidak berhasil. Bahkan beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits
menyebutkan, bahwa talak yang dilakukan hendaknya setelah memenuhi tahapan
tertentu. Isyarat yang ditunjuk naṣ menghendaki perbuatan itu seharusnya
tidak dilakukan, kecuali keadaan yang terjadi tidak bisa diperbaiki.[4] Dengan demikian dapat
dipahami bahwa dalam penjatuhan talak harus ada sebab yang jelas.
Isyarat Al-Qur’an jelas bahwa talak
bukanlah tanpa sebab, tapi harus punya alasan yang kuat. Bahkan ketika terjadi
perselisihan antara suami-istri, tidak serta merta seorang suami langsung
mengucapkan kata-kata “talak” akan tetapi harus melakukan berbagai upaya untuk
menghindari talak, dengan menempuh cara yang elegan di antaranya mengutus orang
yang dipercaya untuk mendamaikannya dengan harapan perdamaian tetap terwujud. Bahkan
bila istri melakukan nusyuz sekalipun masih ada alternatif lain di antaranya
menjauhi dia dari tempat tidur dengan harapan ada penyesalan atas kesalahan
yang ia lakukan. Orang yang dipercaya dimaksud di atas juga tidak bisa langsung
mengambil sikap dan tindakan tertentu kecuali hanya pada hal-hal yang sudah
diamanatkan oleh pihak yang bersengketa.[5]
Sebaliknya, dalam pembahasan fiqh (klasik) penjatuhan talak sangat
longgar, tidak terikat dengan kondisi, waktu dan tempat, karena hak talak sepenuhnya
berada di tangan suami, sehingga dia boleh menggunakan wewenang tersebut kapan
saja.[6]
Dalam pandangan ulama, talak yang
dijatuhkan suami tetap dianggap sah dan berlaku efektif walaupun tidak memenuhi
syarat. Dia hanya dianggap berdosa dan akan diazab oleh Allah. Dalam praktek,
para suami cenderung mengabaikan dosa yang diancamkan Allah untuk penjatuhan talak
secara tanpa hak atau melawan hukum ini.[7] Selain itu, dalam fiqh disebutkan bahwa talak walaupun
diucapkan secara main-main tetap dianggap sah, baik secara putusan hakim (qadaan) dan keyakinan agama (diyanatan).[8] Karena yang namanya hukum
Tuhan tidak boleh dipermainkan.[9]
Berdasarkan pemahaman itu, talak dalam
kondisi marah sekalipun atau bersandiwara maka dianggap sah,[10] bahkan bagi sebagian
ulama penjatuhan talak dalam kondisi mabuk dan terpaksa pun dianggap sah.[11] Mereka merujuk kepada hadits:
عن أبي هريرة أن رسول الله
صلي الله عليه و سلم قال ثلاث جدهن جد و هزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة ( رواه أبو داود).[12]
Artinya: Dari Abi Hurayrah r.a. bahwasanya
Rasulullah saw pernah bersabda: Tiga hal yang main-main jadi sungguhan dan
sungguh-sungguh juga sungguhan, yaitu nikah, talak dan ruju’. (HR. Abu Dawud).
Hadits di atas dijadikan alasan oleh ulama
sehingga talak boleh dilakukan kapan saja tanpa terikat oleh situasi dan
kondisi apapun. Hadits di atas sepertinya mereka pahami apa adanya padahal
patut juga dipertanyakan mengapa dalam redaksinya disejajarkan antara nikah, ruju’
dan talak. Karena kenyataannya ketiga masalah tersebut dari segi substansinya
sangat berbeda. Kemudian dari segi kualitas hadits di atas juga harus
diperhatikan karena ada yang menilainya lemah.[13]
Apabila merujuk konsep Al-Qur’an, Syari‘ tidak membenarkan suami menggunakan
haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati,[14] akan tetapi harus
memperhatikan kondisi isteri yaitu sudah siap untuk menghadapi masa iddah
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. At-Thalaq {65}: 1.
Begitu juga dalam fiqh klasik bahwa dalam pelaksanaan talak tidak mesti ada saksi,
dan tidak mesti dilakukan di depan pengadilan, dengan pertimbangan bahwa talak
adalah hak mutlak seorang suami.[15] Untuk itu tidak perlu
memberi tahu apalagi meminta izin kepada orang lain. Dalam pandangan fiqh, talak itu sebagaimana keadaannya
perkawinan adalah urusan pribadi dan karenanya tidak perlu diatur oleh
ketentuan publik.
Sedangkan menurut aturan yang termaktub dalam
Uundang-Undang Perkawinan di Indonesia bahwa perceraian dibolehkan bila
terdapat alasan yang tepat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal ini terdiri dari 3 ayat
dengan rumusan:
(1)
Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri.
(3) Tata
cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Ketentuan pada ayat (1) disebutkan pula
dengan rumusan yang sama dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dalam Pasal 65 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam satu pasal yaitu pasal 115. Kemudian, ayat (2) UU Perkawinan Pasal
39 dijelaskan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 1975 pada
Pasal 19 dengan rumusan sebagai berikut, Perceraian dapat terjadi karena alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara
5 (lima) tahun atau hukuman serta yang membahayakan pihak lain.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
istri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
Ketentuan yang terdapat pada pasal 19 PP
ini diulangi dalam KHI pada Pasal 116 dengan rumusan yang sama, dengan
menambahkan dua ayatnya, yaitu:
a. Suami melanggar ta’lik talak.
b. Peralihan Agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut betapapun
besarnya keinginan suami menceraikan isteri, kalau tidak memenuhi syarat-syarat
yang tersebut di dalamnya dan izin dari
Pengadilan maka talak tidak dapat dijatuhkan. Ini sangat kontras dengan
pemahaman fiqh klasik yang begitu
lunak dalam penjatuhan talak. Dalam UU Perkawinan tidak ada alasan perceraian
kecuali yang sudah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian suami
isteri tidak akan dapat melaksanakan perceraian atas dasar kesepakatan mereka
atau atas dasar tidak lagi saling mencintai.
Dalam penjelasan pasal 20 PP (Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) dinyatakan bahwa suami muslim tidak boleh
mengajukan gugatan perceraian terhadap isterinya. Pasal tersebut terdiri dari
tiga ayat, dua di antaranya berbunyi:[16]
(1) Gugatan
perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(2) Dalam
hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui mempunyai
kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat
kediaman penggugat.
Penjelasan
resmi pasal 20 menyebutkan: (1) Gugatan perceraian dimaksud dilakukan oleh
seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh
seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam. (2) Cukup jelas.[17]
Penjelasan resmi ini secara tegas
membedakan nama prosedur yang harus ditempuh suami muslim untuk bercerai dengan
prosedur yang harus ditempuh isterinya. Suami hanya diizinkan menceraikan
isterinya melalui talak (permohonan) dan isterinya hanya boleh meminta cerai
melalui gugatan.
Nama prosedur tersebut secara jelas dibedakan, namun persyaratan dan alasan untuk kedua
prosedur yang berbeda ini tidak dibedakan secara jelas, bahkan cenderung
dianggap sama. Tampaknya pembuat peraturan ini terlalu menonjolkan asas
mempersulit perceraian, sehingga mengorbankan asas keharusan terpeliharanya
kesesuaian peraturan perkawinan (dalam hal ini perceraiannya) dengan hukum Agama para pihak
yang berperkara.
Aturan ini juga terkesan sekedar untuk
mempersulit bahkan menimbulkan ketidakadilan terutama sekali bagi pihak isteri.[18] Kemudian dalam
Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) disebutkan bahwa penetapan izin ikrar talak
boleh dibanding oleh isteri, namun tidak menjelaskan boleh dibanding oleh
suami. Dengan demikian, suami tidak punya hak dalam fasakh
sehingga menimbulkan kesan kalau Undang-Undang ini tidak mempertimbangkan maṣlaḥat
bersama (suami-isteri).
Kemudian dalam kitab-kitab fiqh ada berbagai bentuk atau prosedur
yang bisa ditempuh untuk melakukan perceraian, seperti khulu‘, ila’, li‘an, zihar, syiqaq, nusyuz, yang secara umum dibahas pada bab tersendiri,
namun secara tradisional bentuk-bentuk tersebut diklasifikasi menjadi dua, talak dan fasakh. Akan Tetapi, ulama kontemporer menggeser bentuk tersebut
menjadi inisiatif yaitu cerai atas inisiatif suami (talak), cerai atas
kesepakatan bersama (khulu‘) serta cerai atas inisiatif pihak ketiga (fasakh)
melalui Pengadilan boleh atas gugatan suami sebagaimana boleh atas gugatan
istri.[19]
Bentuk-bentuk lain seperti ila’, li‘an, zihar, syiqaq, nusyuz apakah bagian dari talak atau bukan,
seandainya bagian dari talak apakah tidak berlawanan dengan ketetapan Al-Qur’an
(hanya dua kali), namun seandainya bukan bagian dari talak apakah akan mengurangi
jumlah talak yang dimiliki oleh suami atau tidak, belum ada pembahasan yang
spesifik dalam fiqh klasik.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti permasalahan
tersebut dengan Konsep Perceraian Dalam Islam (sebuah interpretasi ulang).
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan ilustrasi di atas bahwa dalam fiqh klasik penjatuhan talak sangat mudah, karena hak talak
sepenuhnya berada di tangan suami, sehingga dia bebas mengucapkanya dalam
kondisi apapun. Berbeda halnya dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di
Indonesia cenderung mempersulit dalam penjatuhan talak sehingga menghilangkan
hak suami serta merugikan pihak isteri. Sedangkan Al-Qur’an sangat mempertimbangkan
aspek maṣlahat, memperhatikan hak-hak suami-isteri masing-masing
misalnya suami tidak boleh melakukannya dengan semena-mena serta memperhatikan
kondisi isteri yaitu ketika sudah siap untuk menghadapai masa iddah. Begitu
juga dengan hal lain, seandainya kedua pasangan suami-isteri sudah tidak saling
mencintai dan sepakat mengakhiri ikatan pernikahan, maka Al-Qur’an tidak
menghalangi suami dan isteri untuk mengakhiri perkawinan dengan cara yang
baik-baik. Dengan demikian, pembahasan ini akan dibatasi pada;
1. Bagaimana konsep perceraian menurut ulama fiqh dan Perundang-Undangan di Indonesia?
2. Apakah status Ila’, Li‘an, Khulu‘, Zihar, Nusyuz, Syiqaq, termasuk bagian dari talak atau bukan?
3. Bagaimana konsep perceraian yang
dikehendaki oleh Al-Qur’an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang disebutkan
di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep fuqaha mengenai perceraian.
2. Untuk mengetahui konsep yang dikehendaki Al-Qur’an tentang perceraian.
3. Untuk mengetahui kategori perceraian dalam
pandangan fuqaha.
4. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak
yang mengambil kebijakan dalam penyelesaian sengketa rumah tangga khususnya
mengenai perceraian.
5. Dapat menjadi tambahan koleksi khazanah perpustakaan
tentang hukum keluarga.
6. Sebagai salah satu syarat meraih gelar Doktor
di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dari kajian ini diharapkan dapat
mengetahui dalil-dalil serta alasan yang dijadikan oleh fuqaha sehingga dalam talak tidak boleh main-main karena bisa
berdampak negatif dan menyebabkan berakhirnya ikatan pernikahan. Kemudian
dengan penelitian ini dapat memahamai konsep Al-Qur’an tentang perceraian
sehingga hubungan suami istri tidak mudah terputus.
D. Kerangka Teori
Allah swt menciptakan umat manusia dari
berbagai macam suku, warna kulit yang berbeda, namun tidak ada yang lebih
unggul antara satu dengan yang lainnya kecuali ketakwaan kepada Allah. Manusia juga
diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan, antara keduanya dibolehkan
menikah dengan tujuan agar dapat melestarikan kehidupannya di muka bumi.
Pernikahan dinilai sebagai sebuah ikatan yang sangat kokoh dan suci, tidak
boleh memutuskannya tanpa sebab yang dibenarkan oleh Syari‘ karena merupakan anugerah. Akibat
perkawinan juga akan timbul hak dan kewajiban antara suami-isteri, diharuskan
untuk hidup rukun dan saling menghargai, suami-isteri memiliki kedudukan yang
sama, maka seorang suami harus mengayomi, melindungi dan membimbing isteri ke
jalan yang diridhai oleh Allah, kemudian isteri juga harus menjaga amanah dan mentaati
suaminya dalam batas yang wajar.
Al-Qur’an menginginkan agar pernikahan itu
langgeng dan kekal sepanjang hayat, namun seandainya tujuan dan maksud
perkawinan tidak dapat tercapai misalnya, terjadi percekcokan antara
suami-isteri secara terus menerus yang mengakibatkan tidak dapat hidup rukun,
tidak dapat menjalankan ketentuan dan hukum yang telah Allah gariskan kepada
mereka, maka Al-Qur’an memberikan solusi yaitu antara suami-isteri menempuh
perceraian dengan cara yang baik-baik.
Al-Qur’an membolehkan
perceraian dalam kondisi tertentu manakala usaha untuk mendamaikan kedua belah
pihak mengalami kebuntuan, dan seandainya ikatan perkawinan pun dipertahankan
maka diyakini akan menimbulkan mudarat buat pasangan suami-isteri tersebut. Meskipun demikian, hal ini tidak
boleh dilakukan secara bebas sebagaimana tradisi yang telah mengkristal pada
masyarakat Arab pada masa itu yang tidak mengakui eksistensi perempuan.
Pada masyarakat Arab Jahiliyah jumlah talak
tidak ada batasan sama sekali dan sepenuhnya mutlak menjadi hak suami, dia dapat
melakukannya seberapa yang dia inginkan. Hal ini membuat perempuan terzalimi
dan menderita, namun penderitan tersebut tidak bisa berakhir karena tidak dapat
melepaskan diri dari kesewenangan suami. Namun oleh Al-Qur’an talak dibatasi
hanya menjadi dua kali, dan tidak boleh menghalangi mantan isteri untuk menikah
dengan pria lain. Lihat Q.S. al-Baqarah {2}: 29-30.
Dengan demikian, bahwa
semangat dasar Al-Qur’an adalah mengubah adat Arab Jahiliyah dan menukarnya dengan
tuntunan Al-Qur’an yang merupakan hidayah.
Dalam Al-Qur’an, penjatuhan talak cenderung
ketat misalnya, harus didahului oleh syiqaq ataupun nusyuz bahkan hal terebut dibolehkan setelah
mengutus para hakam dan suami-isteri
tidak berhasil didamaikan. Seandainya isteri melakukan nusyuz sekalipun tidak secara otomatis
dibenarkan bagi suami menjatuhkan talak, akan tetapi harus menasehati,
meninggalkannya dari tempat tidur, memukul dengan tidak sampai menyakiti
isteri, sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Nisa’ {4}: 34-35. Kemudian seandainya
suami menempuh inisiatif talak, maka harus memperhatikan kondisi isteri apakah
dalam kondisi haid atau tidak, sehingga masa iddah isteri tidak semakin
panjang, kemudian Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa perceraian harus
disaksikan sehingga hak masing-masing pihak dapat terlindungi dengan baik.
Lihat Q.S. At-Thalaq {65}: 1-2.
Isyarat Al-Qur’an di atas dengan membatasi
hak suami berarti ingin mengangkat derajat perempuan sepenuhnya sehingga hak
isteri dapat terlindungi dengan baik, hal ini mengindikasikan bahwa antara
laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara, tidak boleh salah satu
pihak menzalimi pihak lain.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyinggung
persamaan laki-laki dengan perempuan tanpa membedakan jenis kelamin sama sekali
karena salah satu tujuan penciptaan manusia adalah menyembah kepada Tuhan,
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Zariyat {51}: 56. Dalam ayat ini tidak dibedakan
baik itu laki-laki maupun perempuan semuanya dituntut untuk mengabdi kepada
Tuhan. Begitu juga pada ayat lain bahwa laki-laki dan perempuan keduanya
memiliki potensi dan peluang menjadi hamba sahaya yang ideal, tidak ada yang
lebih unggul dari yang lain kecuali hanya ketakwaan semata.[20] Kemudian dalam Q.S. Al-Isra’ {17}: 70 disebutkan
bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia, diberi rizki yang melimpah tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan. Kemudian baik laki-laki maupun perempuan
akan mendapat pahala dan dosa berdasarkan amalannya sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ali-‘Imran {3}: 195.
Meskipun laki-laki dan perempuan
disebutkan oleh Al-Qur’an memiliki kesamaan, namun kenyataannya secara kodrat
dan fitrah memilki perbedaan yang signifikan, misalnya perempuan mengalami masa
haid dan nifas, mengandung, melahirkan, menyusui, sedangkan hal ini tidak
dialami oleh laki-laki.
Di sisi lain Al-Qur’an membolehkan
poligami bagi laki-laki yang memenuhi syarat sebagaimana yang termaktub dalam
Q.S. An-Nisa’ {4}:
3, hal ini hanya berlaku bagi laki-laki tanpa menyebutkan perempuan boleh
melakukan poliandri. Kemudian mengenai hak waris bahwa bagian perempuan separuh
dari laki-laki sebagaimana dalam Q.S. An-Nisa’ {4}: 11, dalam ayat
ini tidak disebutkan pembagian hak waris bagi laki-laki sama dengan perempuan.
Kemudian dalam Q.S At-Thalaq {65}: 1, Q.S. Al-Baqarah
{2}: 231-232, bahwa penjatuhan talak berada di tangan laki-laki. Kemudian Al-Qur’an
menjelaskan bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan, sebagaimana
yang termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah {2}: 228
(وللرجال عليهنّ درجة)
Artinya: Tetapi para suami memiliki kelebihan di
atas mereka (isteri).
Dalam Q.S.
An-Nisā’ {4}: 34
menyebutkan bahwa laki-laki sebagai qawwam terhadap perempuan (الرجال قوّامون علي النساء). Sehingga
kesamaan yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an sebelumnya menimbulkan pertanyaan
baru apakah laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan dalam segala hal tanpa
pengecualian Atau laki-laki berbeda dengan perempuan, dalam artian perempuan lebih
rendah derajatnya dari laki-laki karena laki-laki disebutkan sebagai qawwam dan memiliki derajat yang lebih tinggi atau
laki-laki dan perempuan sederajat tetapi berdasarkan kekhususan dan
pengecualian sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an.
Tradisi Arab
Jahiliyah menganggap perempuan sebagai barang dagangan yang boleh
diperjualbelikan, namun oleh Al-Qur’an derajat
perempuan diangkat setinggi-tingginya dan disamakan dengan laki-laki
berdasarkan pengecualian. Namun para sahabat dan setelah itu dilanjutkan oleh imam mazhab, kelihatannya belum dapat menerima pendapat bahwa Al-Qur’an ingin
mengangkat derajat perempuan menjadi sama dengan orang laki-laki (kecuali dalam
beberapa hal yang dikhususkan). Hal ini terlihat dalam pandangan mereka bahwa
hak talak tetap sepenuhnya berada di tangan suami, dia boleh menjatuhkannya
kapan saja, tidak perlu terikat dengan kondisi waktu dan tempat, bahkan boleh
melakukannya tanpa didahului oleh sebab syiqaq dan nusyuz. Dalam pandangan fuqaha juga talak boleh dilakukan suami tanpa sepengetahuan isteri,
suami juga boleh bersumpah atau menggantungkan talaknya kepada sesuatu misalnya
“seandainya matahari besok terbit, maka engkau tertalak”,[21] kemudian boleh dijatuhkan
dalam kondisi haid dan tidak perlu disaksikan oleh orang lain. Fuqaha berkesimpulan demikian, karena
hak talak sepenuhnya mutlak wewenang suami sehingga dia dapat menjatuhkannya
secara bebas. Selain itu fuqaha
memahami ayat kebolehan talak secara literal, dalam arti kebolehan
tersebut secara mutlak sehingga menjatuhkan talak dalam kondisi apapun dianggap
sah, dan kesaksian dalam talak hanya dianggap sebagai sesuatu yang sunnah,
karena diqiyaskan kepada jual beli.
Ulama terdahulu memahami nas secara parsial dan
literal sebagaimana penafsiran mereka terhadap Q.S. Al-Baqarah {2} :228
(للرجال عليهنّ درجة) yang artinya: Tetapi
para suami memiliki kelebihan di atas mereka (isteri), kemudian Q.S.
al-Nisā’ {4}: 34 (الرجال قوّامون علي النساء)artinya: Laki-laki
sebagai qawwam terhadap perempuan. Sebagian ulama memahaminya
secara harfiah, dengan mengartikan “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” Penafsiran ini
menggiring pemahaman bahwa laki-laki memiliki kewenangan yang sangat luas yaitu
menjadi penguasa terhadap perempuan sehingga boleh berbuat semena-mena terhadap
perempuan. Kemudian tidak boleh perempuan terlibat dalam persoalan politik,
karena kepemimpinan berada di tangan laki-laki. Pandangan seperti itu berlaku
umum di kalangan mufassir, tidak terkecuali Al-Tabari dan Al-Razi: “laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan,
karena laki-laki diberikan beberapa kelebihan oleh Allah”.[22]
Pola pandang
semacam ini dapat
berimplikasi terhadap perilaku suami kepada isterinya tak terkecuali dalam
perceraian, isteri akan terbelenggu dalam hak suami karena dia dapat mengancam
dan menakut-nakutinya dengan kata “talak”, sehingga menyebabkan perempuan
terzalimi oleh hak mutlak suami. Misalnya talak dijatuhkan dalam kondisi haid akan
memperpanjang masa iddah isteri sehingga haknya untuk menikah dengan pria lain
akan tersendat, kemudian sekiranya penjatuhan talak tidak disaksikan, boleh
jadi akan ada salah satu pihak yang dirugikan
sekiranya timbul perselisihan di kemudian hari. Kesaksian dalam talak
diqiyaskan kepada jual beli, menurut hemat penulis kurang tepat, karena dampak
dari talak jauh lebih besar daripada jual beli. Kemudian seandainya talak tanpa
didahului oleh sebab yang dibenarkan Syara‘ seperti syiqaq dan nusyuz, misalnya karena suami ingin menikahi
perempuan lain lalu menjatuhkan talak kepada isterinya, maka sikap dan alasan seperti
ini akan menjadikan perempuan sebagai pihak yang dirugikan. Dengan demikian,
perlu melakukan reinterpretasi terhadap penafsiran nas Al-Qur’an agar hak
masing-masing pihak terlindungi dan terpelihara dengan baik.
Penafsiran bahwa
laki-laki memiliki keunggulan dan pemimpin terhadap perempuan menimbulkan
ketidakpuasan bagi kalangan tertentu khususnya aktivis perempuan sehingga menuntut
persamaan laki-laki dengan perempuan dalam segala hal dengan mengabaikan
pengecualian yang disinyalir oleh Al-Qur’an. Namun menurut hemat penulis, laki-laki
dan perempuan memiliki derajat yang sama, sedangkan perbedaan yang disinyalir
oleh Al-Qur’an tidak bisa dipandang sebagai sebuah perbedaan mutlak sehingga
laki-laki lebih baik dan lebih unggul dari perempuan, akan tetapi itu semua
adalah pengecualian dan kekhususan yang dimiliki oleh laki-laki. Dengan
demikian kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing pihak hanya bersifat
fungsional bukan struktural sebagaimana yang disinyalir oleh Al-Qur’an dalam
surat Al-Baqarah {2}: 228:
(ولهنّ مثل الذي عليهنّ بالمعروف و للرجال
عليهنّ درجة) artinya: Dan mereka (perempuan) mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya dengan cara yang patut. Tetapi para suami memiliki kelebihan atas
mereka. Kelebihan di sini bukanlah laki-laki lebih baik dan sempurna dari
perempuan sehingga dia dapat mengatur dan mendikte isterinya dengan sesuka
hatinya. Akan tetapi kelebihan tersebut diartikan bahwa tanggung jawab
laki-laki lebih besar daripada perempuan, karena bertanggung jawab terhadap
keselamatan dan kesejahteraan keluarga sebagaimana juga yang termaktub dalam
Q.S. An-Nisa’ {4}: 34.[23]
Dengan demikian, Al-Qur’an telah berusaha mengangkat
derajat perempuan dengan setinggi-tingginya bahkan disejajarkan dengan laki-laki,
kecuali dalam beberapa hal. Oleh karena itu boleh dikatakan hak laki-laki dan
perempuan relatif seimbang dengan pengecualian. Akan tetapi sebisa mungkin
dipersempit dan tidak perlu diperluas karena akan menimbulkan kesulitan dalam
masyarakat.
Hal lain, para fuqaha mengelompokkan bentuk perceraian kepada dua macam, yaitu talak
dan fasakh,[24] meskipun dalam pembahasan
fiqih terdapat beberapa bentuk perceraian seperti khulu‘, ila’, li‘an, zihar, syiqaq, dan nusyuz, akan tetapi semua bentuk ini
diklasifikasi kepada talak dan fasakh. Pengelompokan perceraian ke dalam
dua macam ini masih menimbulkan persoalan misalnya bukankah jumlah talak akan
bertambah seandainya khulu‘ diklasifikasi kepada talak, atau ia hanya
bagian dari fasakh karena pelaksanaannya atas perintah pihak ketiga. Kemudian
dalam kasus apa saja boleh campur tangan pihak ketiga masih terjadi tumpang
tindih karena menurut fuqaha ada
kasus yang harus diselesaikan di depan pengadilan dan juga ada yang tidak.
Nampaknya problem inilah yang dirasakan oleh ulama kontemporer seperti Muḥammad
Salam Madkur, sehingga ia
menggesernya menjadi inisiatif, yaitu talak inisiatif suami, khulu‘
inisiatif suami-isteri, dan inisiatif
pihak ketiga (fasakh) melalui Pengadilan boleh atas gugatan suami
sebagaimana boleh atas gugatan isteri.[25] Pergeseran kategori
seperti ini setidaknya melengkapi kekurangan dalam fiqh karena telah mengacu pada konsep keadilan.
Dengan demikian, seandainya masih bertahan
dengan pandangan fiqh klasik mengenai
konsep perceraian, rasanya kurang relevan dan hak-hak isteri dikhawatirkan belum
sepenuhnya terakomodir dengan baik, karena fuqaha
hidup di zaman yang berbeda, dengan kultur dan adat istiadat yang berbeda
dengan masa sekarang, apalagi masa mereka hidup lebih dekat dengan generasi
sahabat yang tentunya banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial pada masa itu
seperti adat istiadat dan budaya masyarakat Arab. Berdasarkan uraian di atas,
maka penulis tertarik melakukan penelitian, berawal dari kesetaraan laki-laki
dan perempuan berdasarkan pengecualian, pembatasan wewenang mutlak suami
sehingga talak tidak dapat dijatuhkan secara bebas, penelitian ini menggunakan
tiga inisiatif sebagaimana yang telah ditawarkan oleh Salam Madkur di atas, kemudian mensistematisasi
pembahasan perceraian, dengan paradigma agar isteri tidak terzalimi oleh
kesemena-menaan suami, serta menjunjung tinggi prinsip keadilan.
E. Definisi Operasional
Konsep menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah rancangan.[26] Namun secara umum suatu
representasi abstrak dan umum tentang sesuatu mempunyai rujukan pada kenyataan
yang bersifat universal.[27] Atau merupakan
generalisasi dari sekelompok penomena tertentu sehingga dapat dipakai untuk
menggambarkan fenomena-fenomena yang sama.[28] Konsep bisa juga
didefinisikan dengan sesuatu yang abstrak tetapi menunjuk pada sesuatu yang
konkret.[29]
Konsep juga bersifat objektif
dan telah diterima secara umum, sedangkan konsepsi adalah sesuatu yang
digambarkan oleh orang tertentu yang masih bersifat subjektif dan belum
diterima secara umum. Sebenarnya kalau melihat kedua definisi tersebut judul
disertasi ini lebih tepat menggunakan istilah “konsepsi”, namun karena
pemikiran yang ditawarkan dalam disertasi ini tidak mengalami pergeseran yang
sangat jauh dari yang telah disepakati secara umum maka penulis menggunakan
istilah “konsep”. Sedangkan
perceraian adalah perpisahan antara suami-isetri.[30] Perceraian dalam fiqih
disebut dengan al-furqah yaitu berakhirnya akad perkawinan karena
sesuatu sebab.[31]
Dalam hal ini secara umum penulis menggunakan istilah “perceraian”
karena maknanya lebih umum bisa terjadi karena talak, khulu‘, dan fasakh.
Definisi tiga terakhir ini akan penulis uraikan pada bab dua. Kemudian supaya
tidak menimbulkan kesalahpahaman, maka penulis menguraikan sedikit perbedaan
antara syariah dengan fiqh.
Menurut Khaled Abou El Fadl, hakikat
Syariat merupakan hukum-hukum Tuhan yang masih abstrak, sedangkan pemahaman dan
implementasi secara konkret dari hukum-hukum Tuhan itulah yang disebut fiqih.
Karena fiqh merupakan hasil pemahaman
maka hasilnya tidak sempurna, sementara kesempurnaan hanya milik Tuhan.[32] Atas dasar pemikiran
seperti ini, penulis sepakat dengan mayoritas pemikir hukum Islam yang
membedakan syariat dengan fiqh. Pertama,
cakupan syariat lebih luas daripada fiqh, sehingga fiqh merupakan salah satu bagian dari syariat. Kedua,
syariat bersumber dari Allah sehingga mempunyai nilai kebenaran mutlak,
sedangkan fiqh berasal dari pemikiran
fuqaha (bentuk jamak dari faqih/orang
yang ahli fiqih) sehingga nilai kebenarannya hanya relatif. Ketiga,
syariat bersifat universal, sedangkan fiqih bersifat lokal-temporal.
Fiqih (kitab fiqih) merupakan aturan-aturan
hukum yang dihasilkan fuqaha (juris)
sebagai mujtahid melalui istinbat secara pribadi. Fiqih ini bercirikan tumbuh beragam sesuai dengan situasi dan
kondisi masing-masing masyarakat di mana fiqih
dirumuskan. Karena hal inilah dalam sejarah dikenal berbagai macam madhhab seperti
madhhab yang empat (al-madhahib al-arba‘ah), yaitu Ḥanafī, Mālikī, Syafi’ī, Ḥanbalī, ada
pula yang punah dalam perjalanan sejarahnya seperti madhhab al-awza‘i, al-Thawri, dan lain-lainnya.
Aturan hukum dalam fiqh ini sama
sekali tidak mengikat siapapun , karena merupakan pendapat pribadi.
F. Kajian Kepustakaan
Di dunia pendidikan, tidak ada penelitian yang benar-benar baru akan tetapi
semua penelitian tersebut merupakan lanjutan dan pengembangan dari penelitian
yang ada sebelumnya. Begitu juga dengan talak, persoalan talak telah banyak dijelaskan di berbagai literatur
yang berkaitan dengan fiqh, tafsir dan ahwal al-syakhsiyyah, dan juga dalam
bentuk karya ilmiah lainnya.
Adapun penelitian tentang talak
yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya antara lain, Asmuni, Eksistensi
Saksi Dalam Talak Menurut Ulama Fiqih dam Hukum Perkawinan Nasional. Tulisan
ini bersifat komparatif yang lebih menitikberatkan tentang kesaksian dalam talak
dalam perspektif ulama fiqh kemudian mengkomparasikannya dengan Undang-Undang
Nasional. Tesis tersebut diawali bahwa dalam ajaran Islam mengenai
talak, ruju’ hendaklah disaksikan. Namun jumhur ulama menganggapnya sebagai sunnah
dan bukan sebagai syarat legalitas suatu perceraian. Berbeda dengan Ibn Ḥazm
dan Sayid Sābiq harus ada saksi dalam pernikahan. Begitu juga halnya dengan Hukum
Perkawinan Nasional bahwa saksi merupakan syarat legalitas setiap perceraian
dengan merujuk UU No: 1 1974 jo,
PP No: 9 1975 jo. Undang-Undang Peradilan Agama No: 7 1989. Namun apakah
pendapat Ibn Ḥazm dan Al-Sayid Sābiq lebih argumentatif jika dikomparatifkan dengan pendapat jumhur.
Apakah hukum perkawinan nasional mengadopsi pendapat Ibn Ḥazm dan al-Sayid Sābiq
atau pertimbangan lain. Sedangkan yang menjadi rumusan masalah dalam tesis
tersebut apakah sesungguhnya esensi talak (perceraian) baik menurut hukum
perkawinan nasional, sehingga eksistensi saksi dalam pelaksanaannya terdapat
pendapat yang kontroversial. Apakah pendapat Ibn Ḥazm dan Al-Sayid Sābiq lebih
argumentatif. Bagaimana eksistensi saksi dalam perceraian menurut hukum
nasional. Apakah syarat legalitas setiap perceraian dapat dikatakan bahwa
ketentuan hukum perkawinan tersebut kontradiktif dengan hukum Islam atau
relevan. Menurut jumhur ulama, Ibn Ḥazm, Al-Sayid Sābiq bahwa talak merupakan
absolut milik suami, boleh menjatuhkannya secara bebas. Sedangkan Undang-Undang
yang berlaku di Indonesia harus dijatuhkan di depan pengadilan, sehingga Undang-Undang
merubah dari yang absolut menjadi tidak absolut. Namun menurut Ibn Ḥazm saksi boleh tidak menginformasikan perkawinan
yang mereka saksikan, sedangkan Al-Sayid Sābiq menilainya kesaksian sebagai
syarat legalitas bukan sebagai rukun, dengan menggunakan pola bayani.
Menurut Ibn Ḥazm dan al-Sayid Sābiq kesaksian merupakan syarat legalitas setiap
perceraian, tetapi penjatuhannya tidak mesti di tempat tertentu seperti
Pengadilan. Kesimpulan dari tesis tersebut bahwa Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di
Indonesia tidak mengadopsi pendapat Ibn Ḥazm dan Al-Sayid Sābiq secara
menyeluruh akan tetapi sebagian kecilnya saja. Ketentuan lain dalam Undang-Undang
dirumuskan sendiri, dan Undang-Undang tidak kontradiktif dengan hukum Islam.
Undang-Undang masih menjiwai ide-ide sentral nas.
Kesaksian dalam Undang-Undang Nasional bukan hanya sekedar dalam kerangka fiqh tetapi sudah jauh dari itu.
Asmuni mengambil kesimpulan
bahwa saksi dalam talak merupakan sebuah keharusan dan merupakan syarat
legalitas. yang menjadi pertimbangan dalam tesis tersebut aspek maslahat.[33] Kemudian informasi lain
yang didapatkan dari tulisan tersebut adalah tentang kedudukan saksi dalam fiqh dan Undang-Undang positif di
Indonesia sebagai upaya membatasi hak talak yang merupakan hak absolut suami,
tulisan tersebut hanya fokus pada masalah kesaksian dalam talak. Perbedaannya
dengan tulisan ini adalah tulisan tersebut tidak melihat dari sudut pandang Al-Qur’an,
tidak mengkomparasikannya dengan Perundang-Undangan di Indonesia, tidak membahas
inisiatif dan kategorisasi perceraian, tidak berangkat dari kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam perceraian, tidak mensistematisasi perceraian dalam fiqh serta tidak menjelaskan macam-macam
bentuk perceraian seperti ila’, khulu‘, zihar, dan li‘an.
Kemudian Nur Fatoni, Talak Dalam Al-Qur’an
(Studi Tentang Hak Mutlak Suami Dalam
Menjatuhkan Talak). Tesis ini mengkaji talak secara spesifik dari
perspektif Al-Qur’an, diawali oleh asumsi dasar bahwa semangat Al-Qur’an adalah
semangat moral, dan mereformasi hukum. Tulisan ini mengkritik fuqaha yang melihat hak absolut suami
dalam masalah talak, kritik lain bahwa talak dalam fiqih dibahas secara parsial, kemudian istilah talak cenderung
dibahas tersendiri. Rumusan masalah dari tesis ini bagaimana karakteristik talak
yang meliputi hak mutlak suami dalam hal tidak memerlukan alasan dan campur tangan pihak lain, pembatasan talak
dalam bentuk waktu, saksi dan lafaz talak,
konsekuensi dan akibat yang ditimbulkan dari adanya talak. Tesis ini banyak
menguraikan aspek sejarah, misalnya bagaimana latar belakang masyarakat Arab
pada abad ke VI dan ke VII, suku dan budaya pada masa itu, kemudian fase/priodeisasi
turunnya Al-Qur’an. Tesisi ini juga menyinggung bagaimana tentang tābi‘in dan
sahabat dalam berijtihad selama mereka berada di wilayah masing-masing. Kemudian
perbedaan antara imam Al-Syafi‘ī dan madhhab awal tentang konsep sunnah,
kemudian juga menyinggung sumber hukum yang lain seperti qiyas dan ijmā‘. Informasi yang diperoleh dari tulisan tersebut bahwa seorang suami yang memiliki hak tidak boleh otoriter dalam
menjatuhkan talak. Talak dan ruju’ bukan lagi hak mutlak suami tetapi harus
didasarkan atas kesepakatan atau alasan yang dapat diterima oleh kedua belah
pihak. Kemudian tulisan tersebut mengelompokkan ayat-ayat talak menjadi tiga
kelompok dilengkapi dengan arti dan kronologisnya. Kelompok ayat yang
pertama relatif seragam, yaitu ketentuan formal pelaksanaan talak, di sini
dicantumkan ayat-ayat mengenai talak secara khusus. Kemudian penafsiran ulama
secara umum mengenai ayat-ayat tersebut, sehingga permasalahan yang lain
seperti nikah, ruju’ dan iddah juga diuraikan. kelompok ayat yang kedua mempunyai
topik upaya mengatasi perceraian. Pembahasannya mirip dengan uraian pada
kelompok pertama yaitu dimulai dengan ayat secara keseluruhan, sebab
nuzul-nya, dan penafsiran ulama. Di sini hanya diuraikan cara Al-Qur’an mengatasi
perceraian. dan kelompok ayat ketiga mempunyai topik prosedur
menjatuhkan talak. Dalam hal ini yang dicantumkan hanya Q.S. At-Thalaq {65}: 1-2, yaitu
mengenai talak bid‘ī dan sunnī serta kesaksian dalam talak. Bedanya
dengan tulisan ini bahwa tesis tersebut hanya mengupas talak secara khusus dari
perspektif Al-Qur’an, tidak membahas bentuk-bentuk yang lain seperti Khulu‘,
Fasakh, Ila’,
Li‘an, Syiqaq, Nusyuz, Zihar, kemudian tidak mengkomparasikannya dengan
Perundang-Undangan di Indonesia, tetapi lebih fokus pada kajian tafsir. Tesis
juga menguraikan akibat perceraian, namun tidak membahas perceraian dari
perspektif fiqh kontemporer, tidak
menguraikan alasan-alasan perceraian, keadaan yang mendahului perceraian,
prinsip perkawinan, sistematika perceraian dalam fiqh, tidak berawal dari kedudukan laki-laki dan perempuan serta tidak menjadikan inisiatif perceraian
sebagai landasan utama.
Selanjutnya buku Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan; oleh
Amir Syarifuddin, literatur ini banyak menginformasikan masalah perkawinan dan
korelasinya dengan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia serta Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Namun tidak mengkomparasikan dengan Undang-Undang
Peradilan Agama, Counter Legal Draf KHI, Rancangan Hukum Materiil
Peradilan Agama. Buku tersebut mengupas tentang perkawinan secara umum
mulai dari definisi, persiapan perkawinan hingga hak kewajiban suami-isteri,
membahas ruju’, iddah, hadānah dan lain-lain.
Buku tersebut mendeskripsikan pandangan fuqaha
serta mengkomparasikannya dengan Undang-Undang perkawinan yang berlaku di
Indonesia mengenai hukum keluarga, namun tidak memberikan kritikan terhadap Undang-Undang
Perkawinan dan KHI.
Perbedaannya dengan tulisan ini, buku tersebut tidak merinci konsep
perceraian dan interpretasi terhadap Al-Qur’an tetapi lebih menitikberatkan
pada pembahasan fiqh, kemudian
menghubungkannya dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Refrensi yang minim serta tidak
menguraikan Asbab An-Nuzul dan munasabah antara ayat,
buku tersebut tidak berangkat dari kesederajatan laki-laki dan perempuan,
inisiatif perceraian serta tidak menggunakan metode tafsir mawdu‘i, tidak didukung oleh ‘illat. Kemudian
tulisan ini lebih menitikberatkan pada
perbedaan di kalangan ulama dan Undang-Undang
di Indonesia mengenai hukum keluarga,
seperti khitbah (peminangan) juwaz (perkawinan), iddah
dan juga waris. Tulisan tersebut tidak mengklasifikasi perceraian dengan sebab
dan tanpa sebab, tidak menyinggung kategorisasi perceraian dan inisiatif
perceraian dalam fiqh dan Perundang-Undangan,
pembahasan serta cakupannya sangat luas, karena selain membahas tentang talak, juga
membahas hal lain seperti nikah, kewajiban suami isteri, iddah, dan lain-lain.
Baik Asmuni, Nur Fatoni maupun Amir Syarifuddin tidak berangkat dari paradigma
kesetaraan laki-laki dengan perempuan berdasarkan pengecualian dan inisiatif
perceraian. Akan tetapi hanya mengupas pemahaman fuqaha bahwa perceraian tetap jatuh walaupun tanpa didasari oleh
kebutuhan yang dinginkan oleh Syara‘, tidak memberikan ‘illat
agar hak isteri terlindungi dengan baik.
Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Kajian
pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah penjatuhan talak yang sangat
longgar dalam perspektif fiqh, tidak
perlu didahului oleh sebab karena hal tersebut merupakan hak preogratif suami, sedangkan
dalam Undang-Undang yang berlaku di Indonesia penjatuhan talak sangat sulit
untuk dilakukan, bahkan harus ada izin dari pengadilan. Kemudian Undang-Undang di
Indonesia tidak mengakomodir perceraian berdasarkan kesepakatan suami-isteri,
serta tidak memberikan hak fasakh kepada suami, lalu bagaimana pandangan
Al-Qur’an yang menghendaki terealisasinya Maqasid Al-Syari‘ah dalam setiap
penetapan hukum bagi umat manusia. Tulisan ini menjelaskan kategori perceraian
dalam perspektif fuqaha agar isteri
tidak terzalimi oleh hak mutlak suami dengan mengedepankan prinsip keadilan.
Kemudian membahas macam-macam dan bentuk perceraian yang ada dalam fiqh seperti ila’, khulu‘, li‘an, zihar, syiqaq, nusyuz, kemudian akan
diklasifikasi kepada talak, fasakh atau selain keduanya, hal ini sangat
tergantung kepada analisa dalil-dalil yang digunakan.
Berdasarkan uraian di atas, substansi penelitian ini berbeda dengan yang
sudah ada karena sejauh temuan penulis, belum ada yang membahasnya secara
spesifik, karena itu perlu kajian lebih lanjut.
G. Metode dan Sistematika
Dalam kehidupan berumah tangga baik suami
maupun isteri diharuskan saling menghargai, menghormati, sehingga kehidupan
yang telah dibina diharapkan langgeng dan abadi. Salah satu pihak tidak boleh
menyakiti pihak lain, tetapi berbuat lemah lembut dan santun, bahkan dituntut
untuk bersabar bila merasa tidak senang
atau ada masalah dengan pasangannya, sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. An-Nisa’{4}: 19.
Kunci utama dalam perceraian terdapat
dalam Q.S. al-Baqarah {2}: 229, ayat ini memberikan pilihan kepada suami apakah
mempertahankan perkawinan dengan konsekuensi bergaul dengan baik (mu‘asyarah bi al-ma‘ruf) atau menceraikan isteri berdasarkan
ketentuan Al-Qur’an. Suami tidak boleh bersikap kasar terhadap isterinya apalagi
sampai mengusirnya dari rumah,[34] bahkan tidak boleh mencari-cari
alasan untuk menceraikan isteri selama kehidupan yang dijalani harmonis dan
langgeng.[35]
Seandainya kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan, suami boleh menggunakan
haknya dengan menjatuhkan talak. Akan tetapi sebelum hak ini digunakan
hendaknya suami memperhatikan kondisi isteri apakah dalam kondisi haid atau
tidak, dan disaksikan oleh orang lain.[36]
Berdasarkan uraian di atas, Al-Qur’an
telah menempatkan perempuan pada posisi terhormat, suami tidak dibenarkan berlaku
semena-mena, hak masing-masing pihak dinilai sejajar tanpa ada diskriminasi
sedikitpun sehingga tidak ada pihak yang merasa superior dan inferior.
Meskipun demikian, ada sebagian ulama yang
memahami ayat Al-Qur’an secara parsial, karena lebih fokus pada aspek
bahasa, kemudian terpengaruh oleh lingkungan, budaya dan adat istiadat di
sekitarnya sehingga menafsirkan Al-Qur’an secara tekstual. Misalnya hak
dan wewenang suami dalam menjatuhkan talak dipahami secara mutlak dan absolut,
sehingga suami boleh menjatuhkannya kapan saja tanpa terikat oleh waktu dan
tepat. Pola pikir semacam ini menimbulkan konsekuensi negatif di lapangan,
karena isteri sering terzalimi oleh kesemena-menaan suami.
Sebagian ulama terkesan melihat naṣ secara parsial, kemudian
dalam ber-istinbaṭ cenderung
menggunakan metode taḥlili,[37] yakni
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspek dan menyingkap
seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosa kata, kaitan ayat dengan ayat
atau surat (munasabat), yakni sisi
lain yang terkandung dalam munasabat (wajhul munasabat), dilengkapi
dengan asbab al-nuzul,
riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Saw, sahabat, tabi‘in, terkadang diisi
pula dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi khusus lainnya. Metode ini
lebih menonjolkan aspek bahasa, sehingga melupakan ‘illat dari ayat yang
bersangkutan. Misalnya pembahasan
mengenai talak, uraian kosa katanya dengan sangat detail, akan tetapi
pembahasan inti permasalahan tidak
dikupas secara mendalam misalnya tidak mempertimbangkan ‘illat, atau
aspek sosial yang lain seperti agar suami tidak berbuat zalim terhadap
isterinya, serta hak perempuan terlindungi dengan baik.
Dengan demikian, metode ini menguraikan
beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat dan berusaha menjelaskan segala
yang ditemukan dalam ayat tersebut. Apabila
dalam satu ayat terdapat pembahasan mengenai talak, iddah, hak suami-isteri dan
lain-lain, mereka menguraikannya secara menyeluruh sehingga pembahasannya melebar,
karena fokusnya tidak hanya pada satu
tema. Ketika menemukan ayat mengenai tema yang sama dari berbagai surat, mereka
menggunakan penalaran lughawi seperti hubungan ‘am, khaṣ, amar, nahyi, muṭlaq,
muqayyad untuk menghubungkannya. Kemudian persoalan lain dari
metode ini tidak memposisikan antara
satu ayat dengan ayat lainnya pada posisi yang setara, tetapi hanya sebagai
pendukung, selain itu terkesan cepat mengambil kesimpulan dan kurang
mempertimbangkan kondisi sosial yang ada karena lebih mengedepankan aspek lughawi-nya.
Dengan demikian misi dan pesan Al-Qur’an agar isteri tidak terzalimi oleh hak
mutlak suami dalam menjatuhkan talak cenderung tidak tersingkap dengan baik.
Mengkaji perceraian dalam perspektif Al-Qur’an
dengan menggunakan metode ini terasa kurang sempurna dan belum dapat menjawab
persoalan yang akan dikaji. Karena metode ini menurut hemat penulis mengandung
beberapa kelemahan, di antaranya ketika menjelaskan suatu ayat, bahasannya
terkesan sangat luas karena mengkaji berbagai tema yang terkandung dalam ayat
tersebut, hal lain disebabkan mereka cenderung memahami ayat secara tekstual,
dan lebih fokus pada aspek bahasa, sehingga dalam menyelesaikan pokok
permasalahan yang dikaji terkesan kurang mendalam, yang mengakibatkan ‘illat
yang terdapat dalam ayat tersebut belum bisa diperoleh dengan maksimal.
Dengan demikian, menggunakan metode taḥlili untuk mengetahui
konsep perceraian yang mendekati keinginan Al-Qur’an yaitu mengurangi hak
mutlak suami dan mempertimbangkan keadilan bagi suami-isteri, maka metode taḥlili yang
tertera di atas menurut hemat penulis terasa kurang memadai.
Untuk
menyelesaikan masalah perceraian yang lebih adil, penulis merasa lebih tepat
menggunakan metode mawdu‘i,[38] yaitu menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an dan Hadits
Nabi yang memiliki tujuan dan tema yang sama, tetapi yang dikaji hanya yang
berkaitan dengan pokok bahasan.[39] Karena metode ini
kelihatannya lebih mempertimbangkan Maqasid Al-Syari‘ah, kondisi sosial dan lebih relevan dengan
tuntutan zaman.
Oleh karena itu penulis akan mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur’an, serta Hadits Nabi yang berkaitan tentang perceraian, atau
yang ada kaitannya dengan penyebab perceraian, kemudian menguraikannya dari
berbagai aspek. Adapaun hal-hal lain dalam ayat tersebut yang tidak ada
hubungannya dengan kajian ini, seperti pernikahan, iddah, kewajiban suami-isteri
dan lain-lain tidak dibahas.
Penulis juga memposisikan antara ayat yang
satu dengan yang lain pada posisi yang sejajar, mencantumkan riwayat
(kronologis) yang menjelaskan asbab al-nuzul, munasabah ayat dengan ayat sebelumnya bila dianggap
penting. Selanjutnya mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian sama, atau mengkompromikan
antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), muṭlaq dan muqayyad
(terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan.
Kemudian dalam menguraikan dalil yang
dikemukakan oleh ulama, penulis akan menganalisa dan menjelaskan mana kira-kira
pendapat yang lebih kuat dan lemah dengan menggunakan metode tarjīḥ,
dikuatkan dengan hadits dan didukung oleh pemahaman sahabat, mempertimbangkan
aspek sosial dan juga ilmu pengetahuan dewasa ini,[40] sehingga dapat menemukan
misi dan pesan Al-Qur’an yang lebih rinci dan mendalam yang sesuai dengan Maqasid Al-Syari‘ah.
Dalam melakukan penulisan, peneliti tidak
mengikuti format tersebut secara baku, akan tetapi mengikuti format yang dianggap
lebih praktis, dalam arti mana yang kira-kira sesuai dengan kajian penulis, Misalnya
menyebutkan ayat terlebih dahulu, mencantumkan asbab al-nuzul ayat bila menemukannya, atau langsung
melihat aspek lain, lalu melakukan analisa.
Untuk melengkapi kajian tersebut penulis menggunakan
beberapa pola penalaran, di antaranya penalaran lughawi, ta‘līlī, dan istiṣlāḥī. Penalaran lughawi ialah penalaran
yang bertumpu pada arti kata-kata dalam kaidah kebahasaan.[41] Karena salah satu bentuk istinbāṭ
hukum dalam fiqh Islam adalah dengan
menggunakan penalaran lughawiyah. Hal ini dilakukan karena nas Al-Qur’an dan Sunnah
berbahasa Arab, maka untuk memahami hukum-hukum dari kedua naṣ tersebut
secara praktis dan benar haruslah memperhatikan uslūb, bentuk serta cara
penunjukkan lafaz.
Kemudian langkah selanjutnya adalah dengan
menggunakan Penalaran ta‘līlī yaitu penalaran yang berusaha melihat apa
yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan dalam Al-Qur’an atau Hadits.[42] Dengan kata lain apa yang
menjadi ‘illat (rasio logis) dari sesuatu peraturan, dalam hal ini adalah
‘illat tasyri‘ī, ‘illat qiyāsī dan ‘illat
istiḥsānī.[43] ‘illat tasyri‘ī adalah ‘illat yang
digunakan untuk menentukan apakah hukum yang dipahami dari naṣ tersebut
memang tetap seperti apa adanya itu, atau boleh diubah kepada yang lainnya.[44] Dengan kata lain,
berhubung diketahui ‘illat pen-tasyrī‘an (penlegislasian) peraturan tersebut, maka
para ulama berani menta’wilkan maknanya sesuai dengan ‘illat yang
dipahami tadi sehingga hukum yang muncul menjadi bergeser dari pemahaman sebelumnya atau berbeda dengan
arti harfiah-nya.[45]
‘Illat qiyāsī adalah ‘illat yang digunakan untuk
memberikan suatu ketentuan pada masalah (bidang) yang secara zahir tidak dicakupnya.[46] Dengan kata lain, ‘illat
ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah naṣ yang mengatur masalah
A berlaku juga untuk masalah B (yang secara harfiah dicakupnya), karena antara
dua hal tersebut ada sifat yang sama. Sifat yang sama inilah yang dinamakan ‘illat.[47]
‘Illat istiḥsānī adalah ‘illat
pengecualian, maksudnya mungkin saja ada pertimbangan khusus yang menyebabkan ‘illat
tasyrī‘ī tadi tidak dapat
berlaku terhadap masalah yang seharusnya dia cakup, atau begitu juga qiyas
tidak dapat diterapkan karena ada
pertimbangan khusus yang menyebabkannya dikecualikan. Dengan demikian ‘illat
kategori ini mungkin ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama,
sebagaimana mungkin juga menjadi pengecualian untuk kategori yang kedua.
Perbedaan ketiga pengelompokan ‘illat
ini hanyalah kegunaannya dan intensitas persyaratannya.[48] Persyaratan untuk ‘illat
qiyāsī
lebih banyak daripada persyaratan ‘illat tasyrī‘ī dan istiḥsānī. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
dalil qiyās dan istiḥsān telah tercakup dalam penalaran ta‘līlī.[49]
Kemudian langkah terakhir penulis
menggunakan penalaran istiṣlāhī yaitu penalaran yang menggunakan ayat-ayat
atau hadits-hadits yang mengandung “konsep umum” sebagai dalil atau
sandarannya. Misalnya ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil, tidak boleh
mencelakakan diri sendiri dan orang lain, bahwa dalam setiap kesulitan pasti
ada jalan keluar yang meringankannya, tujuan sesuatu peraturan adalah kemaslahatan dan seterusnya.[50]
Biasanya, penalaran ini digunakan kalau
masalah yang akan di-takyīf (dikualifikasi, diidentifikasi) tersebut
tidak dapat dikembalikan kepada sesuatu ayat atau Hadits tertentu secara
khusus. Dengan kata lain, tidak ada bandingan yang tepat dari zaman Nabi yang
bisa digunakan. Misalnya aturan lalu lintas kenderaan bermotor, tidak ditemukan
bandingan dari sunnah Nabi untuk mengatur masalah ini. Tetapi mengatur
masalah baru tersebut baik menerima atau menolaknya adalah perlu karena
menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak.[51]
Dengan demikian penulis menggunakan metode
mawdu`i
plus yaitu dengan menggunakan penalaran lughawi, ta“līlī dan istiṣlāḥī. Jadi bila dikaitkan dengan pembahasan
ini, setelah penulis menguraikan ayat, hadits, pendapat sahabat dan ulama,
aspek lughawi-nya, penulis tidak langsung menyimpulkan permasalahan tersebut, akan tetapi berusaha mencari ‘illat,
serta istiṣlāḥ-nya, lalu mengambil kesimpulan.
Namun bila tidak menemukannya, penulis
menjelaskan hanya pada tingkat penalaran lughawi saja. Tapi setelah
berusaha mencari penalaran tersebut namun ternyata
hanya ditemukan salah satunya (istiṣlāḥī tanpa ta‘līlī) penulis hanya mencantumkan apa yang
ditemukan saja. Jadi dengan demikian setelah seselai di tingkat lughawi, penulis beralih ke ta‘līlī, dan istilāḥī namun bila tidak
menemukan ‘illat, penulis langsung melangkah ke penalaran istiṣlāḥī lalu mengambil kesimpulan.
Dilihat dari objek penelitian ini yang
dikontruksi dalam masalah di atas, dapat
dikatakan bahwa bentuk objek kajian ini ada dua bentuk, pertama kajian konsep
perceraian yang dipahami ulama, kemudian mengkaitkannya dengan Undang-Undang yang
berlaku di Indonesia, lalu yang kedua bagaimana konsep Al-Qur’an tentang
perceraian yang mempertimbangkan aspek maslahat-nya.
Kajian terhadap masalah perceraian
termasuk pembahasan yang populer dalam kajian fiqh. Kajian ini telah dijelaskan dan dikaji oleh para ulama awal.
Bahkan kajian mereka sudah dianggap memadai sesuai dengan kondisi masyarakat
masa itu. Namun, karena perkembangan zaman, mempertimbangkan maslahat, agar isteri tidak terzalimi oleh
kesemena-menaan suami seperti yang disebut dalam latar belakang di atas, maka perlu
melakukan reinterpretasi terhadap pemikiran ulama klasik tentang perceraian.
Selanjutnya data yang dikaji bersifat kepustakaan (Library Research),
secara umum data-data tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu primer,
sekunder dan tersier. Bahan primer
meliputi nas Al-Quran dan Hadits, bahan primer itu akan
didukung oleh bahan sekunder,
yang mencakup dari berbagai pemikiran buku-buku fiqh, syaraḥ hadits, tafsir dan pemikiran tentang perceraian
yang dikaji oleh cendekiawan.
Dalam hal ini penulis memfokuskan pada kitab fiqh yang merupakan refresentasi madhhab empat (Ḥanāfī, Malikī, Syāfi‘ī,
Ḥanbali) didukung oleh buku-buku tafsir dan
hadits yang dianggap mu‘tamad. Kemudian Kitab Al-Mughni Al-Muhtaj, Al-Majmu‘ Syarh Al-Muhadhdhab untuk madhhab
Syāfi‘ī, Kitab Al-Mudawwanah
Al-Kubra, dan Ḥasyiah Al-Dusuqi untuk madhhab Māliki, Kitab Al-Mabsut, Ḥasyiah Radd Al-Muhtar Ala Al-Durr Al-Mukhtar Syarh Tanwir Al-Absar fi Fiqh Madhdhab Imam Abu Hanifah, Kitab Badai‘ al-Sanai‘, untuk madhhab Ḥanāfī,
Al-Mughnī Al-Syarh Al-Kabir, Kasyf Al-Qinā‘,
untuk madhhab Ḥanbalī.
Kemudian
Tafsir Ibn
Katsir, (Mesir:
Dar Misr li Al-Taba‘ah, t.t.), Tafsir Mafatih Al-Ghayb,(Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, 2005), Tafsir Al-Tabari, Al-Musamma Jami‘ Al-Bayan fi Ta`wil Al-Qur’an, Jilid IV, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. III, 1999 ), oleh Abu Ja‘far Muḥammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir Al-Manar, oleh Muḥammad
Rasyid Rida
Kemudian: Fatḥ Al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhari, Juz IX, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah), oleh Aḥmad bin ‘Alī bin Hajar Al-‘Asqalani, Sahih Muslim, ‘Aunul Ma‘bud, Sunan Al-Tirmidhī,
dan lain-lain. Dalam penelitian ini juga akan dirujuk kepada Undang-Undang
Perkawinan 1974, Undang-Undang Peradilan Agama 1989, dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Sedangkan
bahan tersier meliputi
kamus dan ensiklopedi Islam. Seperti Lisan Al-‘Arab oleh Ibn Manẓur, Syarḥ Qanun Al-Ahwal- Al-Syakhsiyyah Al-Suri oleh ‘Abd Al-Raḥman Al-Sabuni, dan Syarh Al-Ahwal- Al-Syakhsiyyah oleh Mustafa Al-Siba‘i. Bahan yang disebutkan
terakhir dapat membantu serta melengkapi dua hal di atas yaitu primer
dan sekunder.
Bahan itu akan dianalisis dengan metode
kajian isi (content analysis), yang ditelusuri dengan rinci untuk
diperoleh bahan mentah yang berhubungan erat dengan objek kajian. Bahan mentah
akan dijadikan data pemecahan masalah yang disebutkan. Berdasarkan data yang
ditemukan, akan dirumuskan hipotesis, yang dipandang sebagai bahan baku.
Hipotesis ini dikaji lagi untuk disusun sebuah kesimpulan, di mana hasil itu
dijadikan sebuah landasan teori.
Penyusunan kesimpulan dibentuk dalam
sebuah laporan yang disebut disertasi. Ilustrasi laporan dari penelitian
ini dapat dilihat berikut ini: bab satu, terdiri atas Pendahuluan: Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kerangka Teori, Definisi Operasional, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Kajian Kepustakaan, Metode dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua, sebagai bab teoritis membahas
tentang konsep fuqaha tentang
perceraian, yaitu bagaimana cara dan metode yang mereka gunakan dalam memahami
perceraian, menguraikan bentuk-bentuk perceraian, dan dikomparasikan dengan Perundang-Undangan
Indonesia.
Bab
ketiga sebagai bab pembahasan, kajian yang dilakukan berhubungan dengan
beberapa masalah mendasar seperti yang tercantum dalam rumusan masalah. Kajian
ini secara khusus menitikberatkan pada konsep perceraian dalam
Islam, Sub yang dikaji dalam bab ini meliputi: reinterpretasi konsep perceraian
dalam pendekatan tematis, kedudukan laki-laki dan perempuan, kategori
perceraian, dan macam-macam penyebab perceraian. Selanjutnya, bab terakhir
adalah bab penutup, pembahasannya meliputi kesimpulan dan saran-saran.
[1]Satria Efendi, Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan
Ushuliyah, (Jakarta: Prenada Media, Cet. I, 2004), hlm. 107.
[2]Di samping itu terdapat
pula beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami-istri yang dihalalkan oleh
agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu
secara Syara’. Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam
tiga bentuk: Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan
istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami-istri bila si suami
telah membayar kafarat. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini
disebut zihar. Suami tidak boleh
menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya
dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar kafarat atas sumpahnya itu namun
perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut
ila’. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah
menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhannya terhadap istrinya yang berbuat
zina, sampai selesai proses li‘an
dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini
disebut li‘an. Lihat Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih,
Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet. I, hlm. 124-125.
[3]Abu Dawud Sulaiman bin
Asy-‘Asy al-Sajistanī,
Sunan Abi
Dawud,
Jilid II, (Beirut:
Dar
al-Fikr li al-Taba‘ah wa
al-Nasyr wa al-Tawzi‘,
1994), hlm. 220.
[4]Selain ayat-ayat dan
hadits yang disebutkan di atas, naṣ lain juga mempunyai makna yang
penting terhadap pemahaman perbuatan talak, yakni firman Allah:
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak. (Q.S. al-Nisa’ {4}: 19).
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 .
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab
itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka) .
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (Q.S. al-Nisa’ {4}: 34).
Kemudian dasar
kebolehannya adalah sabdanya dari Anas bin Mālik menurut riwayat Al-Bukhārī:
عن ابن عباّس أنه قال جاءت امرأة ثابت بن قيس الي رسول الله صلي الله عليه و سلم
و قالت : يارسول الله ان ثابت بن قيس ماأعيب عليه في خلق ولآدين ولكني أكره الكفر
في الاسلام، فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم: أتردين عليه حديقته؟ فقالت نعم،
فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم: أقبل الحديقة وطلقها تطليقة (رواه البخاري).
Artinya: Istri Tsabit bin Qaeis datang mengadu
kepada Nabi saw dan berkata: ”Ya Rasul Allah Tsabit bin Qaeis itu tidak ada
kurangnya dari segi kelakuannnya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma
saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam”. Rasul Allah saw.
Berkata: ”Maukah kamu mengembalikan kebunnya?. Si istri menjawab: ” Ya mau”. Nabi berkata kepada Tsabit: terimalah kebun
dan ceraikanlah dia satu kali cerai”.(HR. Al-Bukhari). Lihat Abi Abdullah Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, Ṣahih Bukharī, Jilid V, (Beirut: Dar Ṣa‘ab, t.t.), hlm.
2022.
عن ثوبان أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال أيما امرأة سألت زوجها
طلاقا من غير بأس فحرام عليها رائحة الجنة (رواه الترمذي).
Artinya: Dari
Tsawban sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda manakala istri menuntut cerai
dari suaminya tanpa alasan, maka haram baginya bau surga. Lihat
al-Tirmidhi,
Jami‘
al-Tirmidhi,
hlm. 289.
[5]Abu Ja‘far Muḥammad bin Jarir Al-Tabari, Al-Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Cet. III, 1999), hlm. 74.
[6]Karena definisi talak yang dipahami oleh
sebagian ulama tersebut adalah hilangnya perlindungan isteri (dari suaminya)
dengan ucapan lafaz sarih, atau lafaz kinayah yang jelas, atau dengan lafaz
apapun, disertai dengan niat. Al-‘Allamah Syams Ad-Din Al-Syaikh Muḥammad
‘Urfah Al-Dusuqi, Ḥasyiah Al-Dusuqi ‘ala Al-Syarḥ Al-Kabir, Juz II, (Mesir: Dar al-Fikr, t.t), hlm.
347.
[7]Al Yasa’ Abubakar, Kajian Undang-Undang
Pemerintahan Aceh dan Essay Tentang perempuan, Perkawinan dan Perwalian Anak,
(editor: Syamsul Rijal), (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, Cet. I, 2007), hlm.
73, lihat juga Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Hidakarya
Agung, Cet. XIII, 1991), hlm.111 .
[8]Muhammad Amin al-Syahir bi Ibn ‘Abidin, Hasyiah Radd al-Muḥtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarḥ Tanwir al-Absar fi Fiqh Madhhab Imam Abu Ḥanifah, Juz III, (Damaskus: Dar al-Fikri, Cet. II,
1979), hlm. 238.
[9]Wahbah al-Zuhaylī, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘aṣir,Cet. I, 1991), hlm.
355.
[10]Imam Abi Zakariya Muhyi Al-Din bin Syaraf Al-Nawawī, ditahqiq oleh Muḥammad
Najib Al-Muti‘i, Kitab al-Majmu‘ Syarh
al-Muhadhdhab li al-Syirazi,
Juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr,1996), hlm.
232.
[11]Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurṭubi Al-Andalusi, Bidayat Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), hlm.
61. Bandingkan dengan Abu
‘Abdillah
Muḥammad bin Idris Al-Syafi‘i, Al-Umm, Juz V,
(Beirut-Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah,
Cet. I, 1993), hlm. 364. Menurut Malik
bahwa talak orang mabuk dianggap sah. Lihat Imam Malik bin Anas Al-Aṣbaḥi riwayat Imam Sahnun bin Sa‘id al-Tanawkhi dari
Imam bin ‘Abd
al-Raḥman bin
Qasim ditahqīq
oleh Ḥamdi
al-Damardasi Muḥammad,
Al-Mudawwanah Al-Kubra, (Riyad: Maktabah
al-Mukarramah, Cet. I, 1999), hlm. 791-792.
[13]Imam Majduddin Abi Sa‘adat Al-Mubarak bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazri, Jami‘ Al-Usul fi Ahadits Al-Rasul, Juz
VI, (Beirut:
Dar
al-Fikr, Cet. I, 1997), hlm. 501.
[15]Fuqaha seperti Ḥanafiyyah
menilai bahwa kesaksian dalam talak bukan merupakan sesuatu yang wajib akan
tetapi hanya sebagai sunnah, dengan mengqiaskannya kepada jual beli. Lihat
Muhammad
‘Ali
al-Sabuni, Rawai‘ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Aḥkam min Al-Qur’an, Juz
I, (Dar
Al-Kutub Al-Islamiyyah,
t.t.), hlm. 602-603.
[16]Lihat Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, (Yogyakarta: New Merah Putih, Cet. I, 2009), hlm. 61.
[17]Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, (Yogyakarta: New
Merah Putih, Cet. I, 2009), hlm. 80.
[18]Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, (Yogyakarta: New
Merah Putih, Cet. I, 2009), hlm. 80.
[19]Lihat Muhammad Salam Madkur, Al-Wajiz Li-Ahkam Al-Usrah fi Al-Islam, (Kairo: Dar Al-Nahdah Al-‘Arabiyyah, 1975),
hlm. 209.
[21]Ibn
Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid, Juz II, hlm. 59.
[22]Selengkapnya
lihat Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: (Yogyakarta: LKiS,
Cet. I, 2003), hlm. 3-4.
[23]Bandingkan dengan Muhammad Mutawalli al-Sya‘rawi, Tafsir al-Sya‘rawi, Jilid II, (Kairo:
Akhbar
al-Yaum, Qita‘ al-Tsaqafah, t.t.), hlm.1002.
[24]Wahbah
al-Zuhaylī, Al-Fiqh Al-Islam
wa Adillatuhu, Juz VII, (Damaskus, Dar
al-Fikr, Cet. VI, 2008), hlm. 336.
[26]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Cet. X, 1999), hlm. 519.
[27]J.
Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan,
(Yogyakarta: Konisius, 2002), hlm. 87.
[28]Rianto
Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, edisi II, (Jakarta: Granit, 2005), hlm. 28.
[29]W. Gulo,
Metode Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Cet. II,
2002), hlm. 8.
[31]‘Abd Al-Rahman Al-Sabuni, Syarh Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyyah
al-Surī,
Jami‘ah
Dimasyq, Cet. I, 1991), hlm. 295.
[32]Khaled
Abou El Fadl, Speaking in God`s Name Islamic Law, Authority, and Women,
(England: Oneworld Publication, 2001), hlm. 32.
[33]Maṣlaḥat
menurut Imam
Al-Ghazalī
adalah suatu ungkapan kata mengandung pengertian manfaat dan menyingkirkan mudarat. Al-Ghazali tidak berpegang penuh pada
pengertian asli ini. Tetapi maslahat yang digunakannya dalam istilah syariah ini ialah pemeliharaan terhadap kehendak syariat itu
sendiri pada penganutnya yaitu memelihara agama, jiwa, akal keturunan, dan harta benda mereka. Setiap
yang dapat memelihara yang lima itu adalah maslahat, setiap yang mengurangi atau melenyapkan
yang lima itu adalah mafsadat. Sedangkan yang dapat menyingkirkan
pengganggu yang lima itu adalah maslahat juga. Lihat Abu Ḥamid al-Ghazalī: Al-Mustasfa, (Mesir: Maktabah
al-Jundih, t.t.), hlm. 251.
[37]Arti taḥlili adalah
menafisirkan ayat per ayat dan surat per surat berdasarkan susunan mushaf. ‘Abd
Al-Ḥayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al- Mawdu‘i, (Kairo: Dar Al-Taba‘ah Wa Al-Nasyr Al-Islamiyyah, Cet. VII, 2005),
hlm. 19.
[38]Definisi mawdu‘i adalah menghimpun seluruh ayat Al-Qur`an yang memiliki tujuan dan tema yang
sama, tetapi yang dikaji hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan Lihat Mustafa Muslim, Al-Tafsir Al-Mawdu‘i, (Damaskus: Dar Al-Qalam, Cet. IV,
2005), hlm.16. dan ‘Abd Al-Ḥayy Al-Farmawī, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al- Mawdu‘i, hlm. 40-41.
[39]Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an kandungan
yang bersifat global dalam suatu ayat akan dijelaskan dengan ayat lain, kandungan
yang ringkas pada satu tempat akan
diuraikan pada tempat lain. Hal ini akan dilengkapi dengan Hadits Nabi Saw,
menguraikan aspek bahasa, mempertimbangkan logika, kondisi sosial, maslahat, dan adat istiadat. Dengan demikian, metode
ini dapat menyingkap makna, kandungan, petunjuk, pesan, ‘illat yang ada
dalam ayat tersebut.
[40]Menurut al-Raysuni, berijtihad dewasa ini
dengan asumsi bahwa realitas sosial harus mneyesuaikan dengan fiqih dinilai kurang relevan, akan
tetapi sebaliknya yaitu fiqih yang
menyesuaikan diri dengan realitas sosial. Al-Raysuni juga mengemukakan bahwa
langkah-langkah ijtihad dewasa ini harus mengedepankan rasio, maslahat, dan adat istiadat yang berlaku.
Lihat al-Raysuni, al-Ijtihad al-Nas, al-Waqi‘, al-Maslahat, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. I,
2000), hlm. 60-173. Oleh sebab itu penulis dalam memecahkan persoalan akan
merujuk wahyu, mempertimbangkan aspek bahasa, maslahat, adat istiadat
dan ilmu pengetahuan, sebagai contoh Al-Qur`an membatasi perceraian dengan
tujuan melindungi keluarga karena seorang anak didik dengan kondisi single
farent menurut teori ilmu fsikologi dapat memberikan efek merusak konsep
pribadi anak. Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan), Edisi ke V, (Jakarta: Erlangga,
t.t.), hlm.
310.
[41]Lafaz dari
segi cakupan makna, lafaz
dari segi kejelasan dan ketidakjelasan makna, lafaz dari segi penggunaan
maknanya dalam pemakaian, makna lafaz ketika dalam
rangkaian (kalimat). Lihat Wahbah Al-Zuhaylī, Usul Al-Fiqh Al-Islamī, Juz I, (Damaskus:
Dar
al-Fikri li al-Taba‘ah wa al-tawzi‘ wa al-Nasyr, Cet. I,
1986), hlm. 202. dan ‘Ali
Ḥasballah, Usul Al-Tasyri‘ Al-Islami , (Kairo: Dar Al-Ma‘arif, t.t.), hlm.
209.
[42]Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris
Sepertalian Darah Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran
Fiqih Madhhab (disertasi), hlm. 17.
[43]Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian
Darah, hlm. 17.
[44]Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian
Darah, hlm. 17.
[45]Contoh populer tentang hal ini adalah
keputusan Umar untuk tidak membagi-bagikan tanah pertanian di Irak, yang
menjadi rampasan perang (Al-Fay’). Pada masa Rasul dan Abū Bakar, tanah musuh yang direbut dibagi-bagi kepada tentara yang ikut berperang.
Tetapi khalifah ‘Umar mencegahnya. Dalil yang digunakan untuk keputusan
tersebut adalah Al-Hasyr ayat 7. di sana
dikatakan (pembagian itu perlu) agar kekayaan tidak menjadi monopoli segelintir
orang. Inilah yang menjadi ‘illat ketentuan tentang rampasan perang.
Menurut ‘Umar, pembagian tanah pertanian Irak yang luas tersebut akan menimbulkan tuan tanah baru, yang justru
ingin dihindari oleh Al-Qur`an. Dengan demikian, tanah tersebut harus dimiliki
oleh negara dan hasilnya yang dibagi-bagikan kepada pihak-pihak yang berhak. Al
Yasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, hlm. 17.
[46]Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, hlm. 18.
[47]Contohnya, Al-Ma’idah ayat 90
mengharamkan khamr, (minuman keras yang terbuat dari perasan kurma)
dengan ‘illat memabukkan. Ayat ini secara harfiah (penalaran bayānī/lughawī)
tidak mencakup wisky, bir atau anggur (bahan dasarnya bukan kurma). Tetapi
hukum ketiga minuman ini disamakan dengan khamr, karena mengandung ‘illat
yaitu memabukkan. Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, hlm. 18.
[48]Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris
Sepertalian Darah, hlm. 18.
[49]Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris
Sepertalian Darah, hlm.18. dan juga lihat Syalabī, Ta‘lil Al-Ahkam, (Kairo: Dar al-Nahdat al-‘Arabiyyah), hlm.
150.
[50]Al Yasa’ Abubakar, Ahli Waris
Sepertalian Darah, hlm. 19.