♠ Posted by Agustin Hanafi at 01.52
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Allah Swt menciptakan umat manusia dari berbagai macam suku dan warna kulit, namun tidak ada yang lebih unggul
antara satu dengan yang lainnya kecuali ketakwaan kepada Allah. Manusia juga
diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan, antara keduanya
dibolehkan menikah dengan tujuan agar dapat melestarikan kehidupannya di muka
bumi. Sebagaimana firman
Allah Swt:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz
Artinya: Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S.
al-Hujurat/49:
13).
Kemudian Al-Qur’an menjelaskan
secara gamblang bagaimana kedekatan hubungan laki-laki dengan perempuan
sebagaimana termaktub dalam surat al-Rum/30:
21
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
Artinya: Dan di
antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.
(Q.S. Al-Rum {30}:
21).
Kemudian
penjelasan Al-Qur’an adanya kecenderungan laki-laki untuk mencintai perempuan,
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$#
Artinya: Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali ‘Imran/3: 14).
Wajh al-dilalah
dari ayat di atas, bahwa manusia diciptakan berpasangan, adanya kecenderungan
hati laki-laki untuk mencintai perempuan, kemudian pernikahan merupakan
anugerah dan karunia dari Allah. Al-Qur’an menganjurkan umat manusia untuk
menikah, tujuannya untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai khalifah di
muka bumi ini.
Pernikahan juga oleh
Al-Qur’an disebut dengan mitsaqan ghalizan,
sebagaimana firman Allah Swt.
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ cõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî
Artinya: Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Q.S. al-Nisa/4:
21).
Berdasarkan ayat di atas, pernikahan dinilai sebagai sebuah ikatan yang
sangat kokoh dan suci, tidak ada sesuatu dalil yang lebih
jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu selain
Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami-isteri dengan mitsaqan
ghalizan
(perjanjian yang kokoh).
Jika
demikian kuatnya ikatan
antara suami dan isteri tidak
sepatutnya dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan
perkawinan dan mengabaikannya sangat dibenci oleh Islam karena ia merusak
kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami-isteri.[1]
Tidak boleh memutuskannya tanpa sebab yang dibenarkan oleh Syari‘
karena ia merupakan anugerah. Oleh karena itu, dalam
Islam tidak boleh membatasi akad nikah untuk masa tertentu.[2]
Akibat perkawinan juga
akan timbul hak dan kewajiban antara suami-isteri. Antara lain, suami-isteri memiliki
kedudukan yang sama dan
diharuskan untuk hidup
rukun dan saling menghargai. Seorang suami
harus mengayomi, melindungi dan membimbing isteri ke jalan yang diridhai oleh
Allah, demikian
juga dengan isteri, ia harus menjaga amanah dan mentaati suaminya dalam batas
yang wajar.
Al-Qur’an menginginkan
agar pernikahan itu langgeng dan kekal sepanjang hayat, dan langgengnya
kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam.
Akad nikah bertujuan untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia.
Tujuannya agar suami-isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga menjadi tempat berlindung,
menikmati naungan kasih sayang, dan dapat memelihara anak-anaknya dalam
pertumbuhan yang baik.
Oleh
karena itu Islam melarang membujang, sebaliknya menganjurkan pernikahan bagi
yang telah mampu secara lahir dan batin, sehingga dapat menjaga diri dan
pandangan dari hal-hal yang tidak baik. Meskipun Al-Qur’an menganjurkan
pernikahan, tetapi tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dinikahi,
tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing sebagaimana yang
ditegaskan dalam surat al-Nisa’/4:
3,
فانكحوا
ما طاب لكم من النساء
Artinya maka kawinilah siapa yang kamu
senangi dari wanita-wanita (al-Nisa’/4:
3.
Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw
menyinggung sedikit mengenai kriteria calon pasangan hidup sehingga tujuan dari
sebuah pernikahan dapat tercapai dengan baik, sebagaimana sabda-Nya:
تنكح المرأة لأربع: لمالها و لحسبها و
لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (أخرجه الخمسة عن أبي هريرة)
Artinya: Biasanya wanita
dinikahi karena hartanya atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena
agamanya. Jatuhkan pilhanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau
akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu
Hurayrah).
Di tempat lain, Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa
الزاني لا ينكح الاّ
زانية أو مشركة والزّانية لا ينكحها الاّ زان أو مشرك
Artinya: Laki-laki yang berzina
tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik, dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik (Q.S. al-Nur
/24: 3.
Kemudian
juga dalam memilih pasangan hendaknya sekufu’ serta yang baik-baik, sebagaimana
pesan surat al-Nur/24:
26.
àM»sWÎ7sø:$# tûüÏWÎ7yù=Ï9 cqèWÎ7yø9$#ur ÏM»sWÎ7yù=Ï9 ( àM»t6Íh©Ü9$#ur tûüÎ6Íh©Ü=Ï9 tbqç7Íh©Ü9$#ur ÏM»t6Íh©Ü=Ï9 4
Artinya: Wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula).
Karena
pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral, maka Islam menetapkan rikun
dan syarat yang harus dipenuhi di antaranya dewasa, laki-laki dan perempuan,
disertai dengan saksi dan wali kemudian bukan dalam kondisi yang haram untuk
dinikahi baik karena hubungan nasab atau karena berbeda agama. Oleh karena Al-Qur’an
membatasi siapa saja yang tidak boleh dinikahi dari pihak keluarga yang biasa
disebut dengan muhrim hal ini bertujuan demi kemaslahatan, sebagaimana yang
sijelaskan dalam surat al-Nisa’/4:
33,
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§
Artinya: Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang
perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Menurut
M. Quraish Shihab, ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat,
dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani, ada juga yang
meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak
menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi anatara
suami-isteri. Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas,
berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus
dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawinan anatar
kerabat sebagai upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antar keluarga lain dalam
rangka mengukuhkan satu masyarakat.[3]
Kemudian
Al-Qur’an juga tidak menghendaki pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda,
Al-Qur’an juga secara tegas melarang pernikahan dengan orang musyrik seperti
Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2): 221,
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Larangan
serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan
perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik
و
لا تنكحو المشركين حتّي يؤمنوا
Artinya:
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
Mukmin) sebelum mereka beriman (Q.S. Al-Baqarah (2): 221.
Kemudian
mentoleransi laki-laki muslim menikah dengan perempuan yang dari golongan Ahl
al-Kitab,
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Maidah/5:
5,
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s%
Artinya:
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.
Namun
seiapa yang dimaksud dengan orang musyrik dan Ahl al-Kitâb sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas menjadi
perbedaan di kalangan ulama, misalnya apakah Ahl al-Kitâb di sini digolongkan kepada kelompok musyrik
atau mereka halal untuk dinikahi lantaran sudah memeluk agama Islam. Ibn Umar
misalnya berpendapat bahwa mereka yang boleh dinikahi hanya yang sudah memeluk
agama Islam.[4]
Namun ada juga ulama modern yang memandang bahwa kebolehan disini secara mutlak
tanpa diqayid dengan yang sudah memeluk agama Islam.
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka penulis tertarik melakukan kajian ilmiah yang titik
fokusnya bagaimana pandangan ulama menikah dengan beda agama.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
kehidupan di dunia ini manusia yang ditunjuk Allah s.w.t sebagai khalifah di
muka bumi ini tentunya saling berkomunikasi dan bermuamalah antara sesamanya,
baik laki-laki dengan perempuan, Muslim dengan non Muslim yang semuanya itu
punya ketentuan dan undang-undang dari Allah Swt ada yang boleh dilakukan dan
ada yang tidak. Allah Swt menurunkan tiga agama Samawi yaitu Islam, Yahudi dan
Nasrani, namun Al-Qur’ an sering menyebut pemeluk agama Yahudi dan Nasrani
sebagai Ahl al-Kitâb, tetapi tidak
pernah menyebut Islam ke dalam kelompok ini. Namun bagaimana dengan agama-agama
lain di dunia ini seperti Hindu, Budha, Shinto, dan lain-lain yang merupakan
agama wad’i
apakah dikelompokkan sebagai Ahl al-Kitab
atau bukan, karena Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara tegas sehingga menjadi
titik pandang di kalangan ulama.
Dalam Al-Qur’an, laki-laki muslim
dilarang menikahi perempuan musyrik secara mutlak tanpa terkecuali
sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 221, namun dibolehkan menikahai perempuan
yang dari golongan ahl- al-Kitab sebagaimana dalam Q.S. al-Maidah/5:
5.
Namun
siapa perempuan musyrik dan Ahl al-Kitab,
ulama punya pandangan yang berbeda, bahkan ada yang menilai kalau kebolehan
tersebut sudah tidak berlaku lagi karena menganggap ahl al-Kitab
sebagai golongan musyrik sehingga kebolehan yang ada telah dinasakh oleh
ayat yang mengharamkannya yang turun belakangan. Kemudian sebagian ulama
menilai hanya sebelum agama mereka mengalami perubahan, atau hanya dari keturunan
bani Israil saja, ada juga yang punya pandangan lain bahwa siapa saja selain
perempuan musyrik baik punya kitab suci atau tidak, tetap halal dinikahi
oleh pria muslim.
Dalam
Al-Qur’an memang banyak sekali kecaman terhadap prilaku Ahl al-Kitab
karena dinilai telah menyimpang dari ajaran aslinya, tetapi ada juga pujian
terhadap golongan mereka yang selalu istiqamah dan melakukan perintah Allah.
Namun yang boleh dinikahi oleh pria muslim apakah Ahl al-Kitab
secara keseluruhan atau dari kalangan tertentu.
Dalam
agama apapun, menjaga iman merupakan kewajiban dasar, berbagai benteng syari’at dirumuskan agar
iman tidak sampai tererosi. Maka tidak
heran Al-Qur’an melarang keras perempuan muslimah menikah dengan yang beda
agama tanpa terkecuali pria yang Ahl al-Kitab
namun pakta yang terjadi di lapangan ada saja kasus yang melanggar rambu-rambu
yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, bahkan banyak pria muslim menikah dengan
perempuan yang bukan dari agama samawi dengan dalih mereka ini dari golongan Ahl
al-Kitab.
Karena cinta adalah soal hati, bisa hinggap kapan saja, dimana saja, tak
terkecuali kepada mereka yang berbeda agama.
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam kajian ini
adalah:
1. Bagaimana
Kedudukan Ahl al-Kitab
Dalam Al-Qur’an
2. Bagaimana
Pandangan Ulama Nikah Lintas Agama
C.
Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1.
Tujuan
Penulisan
1. Kajian
ini bertujuan mengungkap secara jelas pemikiran ulama mengenai nikah beda agama
2. Memperkaya
wawasan pembaca mengenai nikah beda agama berdasarkan kajian ilmu fikih dan
tafsir
2.
Kegunaan
Penulisan
a. Kegunaan
Ilmiah
Tulisan
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran ulama mengenai terutama
mengenai pemahaman mereka tentang nikah lintas agama, sekaligus dapat menambah
khazanah intelektual dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan
ilmu-ilmu keislaman khususnya.
b. Kegunaan
Praktis
Tulisan ini dapat
dijadikan sebagai informasi bagi pemerhati kajian fiqh, tafsir dan sekaligus
sebagai bacaan mengenai nikah beda agama.
D.
Metode Penelitian
a. Metode
Pengumpulan Data
Tulisan ini merupakan kepustakaan (library Research). Karena
objeknya adalah pemikiran ulama mengenai nikah lintas agama maka tulisan ini
difokuskan pada buku fikih dan tafsir seperti al-Fiqh al-Islam
wa Adillatuhu oleh Wahbah al-Zukhayli,
al-Fiqhu ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah oleh Abdurrahman
al-Jaziry, Fiqh al-Sunnah oleh al-Sayid Sabiq,
Tafsîr al-Qur‘ān al-Hakîm al-Syahîr bi-al
Tafsîr al-Manār, oleh Muhammad Abduh. Tafsir al-Tabari, oleh al-Tabari, Tafsir Ayat al-Ahkam oleh Ali al-Sayis.
Buku-buku yang tersebut
di atas menjadi rujukan pertama sebagai sumber data primer. Sedangkan buku-buku
lain yang berkaitan dengan tulisan ini akan penulis jadikan sebagai data sekunder. Misalnya Tafsir al-Misbah
oleh M. Quraish Shihab, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia oleh Amir
Syarifuddin, Bidayah
al-Mujtahid oleh Ibn Rusyd. Dalam mendapatkan
buku-buku itu, penulis berusaha merujuk kepada naskah aslinya.
b. Metode Analisisa
Setelah data yang
dibutuhkan terkumpul, lalu analisa dengan metode content analisyst, maksudnya dengan menelusuri alur fuqaha dan
mufassir yang diformulasikan dalam buku-buku tersebut. Metode concent anaflsyst sebagaimana dinyatakan
Yuyun S. Sumantri, meniscayakan digunakannya analisyst comparative untuk memetakan posisi pemikiran ulama yang
menjadi objek penelitian di antara pemikir-pemikir lainnya. Adapun metode
komparatif digunakan untuk membandingkan pandangan-pandangan fuqaha dengan
pandangan-pandangan lain yang berkaitan dengan tema yang telah ditentukan.
Tulisan ini bersifat
deskriptif analisis kritis karena menampilkan butir-butir pemikiran fuqaha
tentang nikah lintas agama disertai analis kritis dari penulis sendiri.
E.
Sistematika Penulisan
Salah satu kerangka
berpikir ilmiah adalah berpikir secara sistematis. Penulisan buku ini terdiri
dari beberapa bab, yang mana antara setiap bab saling berhubungan. Secara
berturut-turut mengkaji persoalan dan yang umum sampai pada inti persoalan.
Untuk memperjelas sistematika penyusunannya, penulis akan mendeskripsikan bab
per bab secara global.
Bab
1 (Pendahuluan) terdiri dari beberapa sub bab. Sub bab yang pertama merupakan
deskripsi tentang banyak hal yang menjadi alasan (backround) mengapa
tema buku ini menjadi penting. Pada sub kedua, penulis mencoba mengidentifikasi
berbagai masalah, dan kemudian melakukan pembatasan dan perumusan masalah yang
akan dikaji, sehingga secara umum, akan tergambar visi besar dalam tulisan ini.
Sub bab yang ketiga menjelaskan tujuan dan kegunaan penelitian. Sub bab keempat
menjelaskan teknik dan metode penelitian. Sub bab yang kelima penulis
menjelaskan secara makro sistematika penulisan.
Bab
II Defini umum tentang perkawinan baik dalam pandangan fuqaha dan yang tertera
dalam perundang-undangan di Indonesi, kemudian menjelaskan hukum perkawinan
serta tujuan dan hikmah dari sebuah perkawinan.
Bab
III Konsep Kufr, Musyrik dan Ahl al-Kitâb, Makna dan cakupan
Ahl al-Kitab,
Pendapat Ulama mengenai kedudukan Ahl al-Kitâb,
Bab
IV yang merupakan inti kajian, yang terdiri dari beberapa sub bab, di antaranya
pandangan ulama mengenai nikah lintas agama yang meliputi pernikahan muslim
dengan perempuan musyrik, pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki
musyrik, pernikahan muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab,
makna al-Muhsanat,
pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki yang dari Ahl al-Kitab,
dan lain-lain.
Bab
V (penutup) merupakan Kesimpulan serta saran-saran penulis dalam rangka
menambah wacana pemikiran fikih dan tafsir mengenai pandangan ulama tentang
nikah lintas agama.
[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Cet. X, 1999),
hlm. 455.
[2]Ibn Manzur, al-Masri, Lisan ‘Al-Arab, Juz X, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, 1990), Lihat Lisan al-Arab, Juz
II, hlm. 293.
[5]Lihat Muḥammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras
li al-Faz Al-Qur’an al-Karim, (Dar al-Fikr, Cet. III, 1992),
hlm. 422-424.
[6]‘Umar Sulayman al-Asyqar, Ahkam az-Zuwaj fi Dau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Yordania: Dar an-Nafais, Cet. IV,
2008, hlm. 11.
[7]Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala
al-Mazahib al-Arba’ah, Cairo: al-Matbah al-Tawfiqiyah, t.t.p, Juz IV, hlm.
8.
[8]Ibid, dan bandingkan dengan
‘Umar Sulayman al-Asyqar, Ahkam az-Zuwaj fi Dau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 11.
[10]Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: Prenada Media,
2006, Cet. I, hlm. 37.
[11]Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, Juz VII, (Damaskus,
Dar al-Fikr, Cet.
VI, 2008), Juz VII, hlm. 43
[12]Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 37.
[16]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
hlm. 39.
[17]Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia hlm. 39.
[19]Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974,
New Merah Putih: Yogyakarta, 2009, Cet. I, hlm. 41-42.
[22] Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Bandung: 2008, Cet. I, hlm. 2.
[23] Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,
Cet. I, hlm. 46.
[24]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 47.
[25]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 47.
[26]Amir Syarifuddin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 42.
[29]Menurut Musṭafa Aḥmad
al-Zarqa’ bahwa
sifat-sifat akad itu ada empat: (1) akad yang mengikat kedua belah pihak dan
tidak boleh di-fasakh berdasarkan kesepakatan bersama, ulama
mencotohkannya akad nikah), hal ini hanya boleh diakhiri berdasarkan ketentuan
syar‘ī secara khusus, dengan cara talak, khulu‘, putusan pengadilan, fasakh
karena terdapat suatu sebab yang dibenarkan oleh Syara‘. (2) akad yang
mengikat kedua belah pihak namun boleh di-fasakh atau
dibatalkan berdasarkan kesepakatan bersama seperti jual beli, perdamaian, dan
lain-lain. (3) akad yang mengikat salah satu pihak seperti pergadaian, kafalah. (4)
sifat asli dari akad yang tidak mengikat penuh bagi kedua belah pihak,
masing-masing boleh mengakhiri atau membatalkannya. Lihat
Musṭafa Aḥmad
al-Zarqa’,
al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, Juz I, (Damaskus:
Dar
al-Fikr, Cet. IX, 1967),
hlm.577-578.
[30]‘Abd al-Fatah Kabbarah, al-Zuwaj al-Madani wa Masyru‘ Qanun al-Aḥwal al-Syakhsiyyah
al-Libnani, (Beirut: Dar al-Nafa’is li al-Tabā‘ah wa al-Nasyr
wa al-Tawzī‘, Cet. I,
1998), hlm.
95-96.
[31]Muhammad Amin Summa,
Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm 172.
[32]Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: New Merah Putih, Cet. I, 2009), hlm.
39-41.
[33]Sudarsono, Hukum
Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, Cet. III, hlm. 36.
[34]Muhammad Amin Summa, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 49.
[37]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
(Khitbah, Nikah, dan Talak), (terj.), Jakarta: Amzah, 2009, Cet. I., hlm.
43.
[40]Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 44-45.
[41]Dalil yang digunakan
kelompok ini adalah Q.S. al-Nisa’/4: 3, al-Nur /24: 32. Kemudian
hadits Nabi Saw من استطاع منكم الباءة فليتزوج(siapa di antaramu telah mempunyai kamampuan dari
degi “al-ba’ah”), Lihat
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam, Juz VII, hlm. 49.
[42]Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam, hlm. 45.
[46]Lihat al- al-Nawawi,
Kitab al-Majmu‘ Syarh al-Muhadhdhab li al-Syirazi, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad,t.t.), Jilid XVII, hlm. 200-201.
[48]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
hlm. 45.
[50] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam, hlm. 43.
[52]A. Hamid Sarong, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh, PeNA, 2005, Cet. II, hlm.1.
[57]A. Hamid Sarong, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, hlm.1.
[60]Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 46.
[1]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II,
(Dar al-Fikr, li al-Taba‘ah wa al-Nasyr, Cet. IV,
1983), hlm.135.
[2]‘Alī Yusuf Al-Subkī, Fiqh
Keluarga, (terj), (Jakarta: Amzah, Cet. I, 2010), hlm. 53.
[4]Lihat
Badrân Abu al-’Aynayn
Badrân, al-‘Alâqah al-Ijtimâ‘îyah Bayna
al-Muslimîn wa Ghayr al-Muslimîn, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-’Arabîyah li
at-Taba’ah wa al-Nasyr, 1404 H./1984 M.), hlm.
43.