Tulisan Agustin Hanafi

" Berkelas "

Kedudukan Suami-Istri dalam Alquran

♠ Posted by Agustin Hanafi at 00.54


Oleh Agustin Hanafi

BEBERAPA ayat Alquran menjelaskan bagaimana kedekatan hubungan laki-laki dan perempuan (atau perempuan dengan laki-laki), misalnya dalam ikatan perkawinan (QS. al-Rum: 21, QS. al-Nisa’: 1, dan QS. al-Baqarah: 187). Ketiga ayat ini menginformasikan betapa dekatnya hubungan antara laki-laki dan perempuan berdasar asal kejadian, bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari asal yang sama, bahkan diri yang sama. Karena itu adanya rasa saling membutuhkan antara laki-laki dan perempuan dan adanya kecenderungan untuk hidup bersama, hal ini merupakan fitrah yang telah ada sejak awal penciptaan manusia. 
Tuhan tidak menciptakan yang satu untuk mengeksploitasi yang lain, dan kebahagiaan yang satu di atas penderitaan yang lain, tetapi justeru dengan saling mengasihi dan menyayangi, mereka akan mendapatkan kedamaian. Pasangan suami-istri bukan hanya saling melengkapi, tetapi juga saling menjaga dan melindungi bahkan saling tergantung antara keduanya. Pernyataan ini memberikan kesan, tidak ada pihak yang dilebihkan atau diunggulkan atau hanya melindungi, sebagaimana tidak ada yang dijadikan subordinat, direndahkan atau hanya dilindungi. Dengan demikian laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan melengkapi, tidak ada yang dilabelkan dengan predikat superior dan inferior.
 Setara di mata Tuhan
Kemudian ada beberapa ayat Alquran yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sederajat, serta seimbang dari segi hak dan tanggung jawab, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Hujurat: 13, dan QS Ali ‘Imran: 195. Dalam ayat ini Alquran menginformasikan bagaimana kedudukan orang beriman baik laki-laki maupun perempuan itu sama di hadapan Allah, oleh karena itu mereka harus memperoleh status yang setara di mata Tuhan, dan keduanya telah dideklarasikan secara sama dengan mendapatkan rahmat Allah.

Memang ada ayat Alquran yang menjelaskan keunggulan laki-laki terhadap perempuan misalnya, laki-laki disebutkan sebagai qawwam (QS. al-Nisa’: 34), suami memiliki derajat lebih tinggi (QS. al-Baqarah: 228), laki-laki dibolehkan untuk memiliki isteri lebih dari satu (QS. al-Nisa’: 3), mendapatkan hak warisan lebih banyak (QS. al-Nisa’: 11), memiliki hak untuk menjatuhkan talak (QS. al-Baqarah: 230). Apabila dicermati secara mendalam, keunggulan ini bukanlah kelebihan, tetapi persamaan laki-laki dengan perempuan berdasarkan pengecualian karena baik laki-laki maupun perempuan disebut sebagai ‘pihak’.
Dan kebolehan seorang suami memiliki isteri lebih dari satu karena memang seorang anak akan dinasabkan kepada ayahnya, dan secara logika anak yang lahir akan diketahui secara langsung bahwa dia anak si fulan, hal ini berbeda dengan perempuan sekiranya memiliki suami lebih dari satu. Hal lain, perempuan mengalami masa haid, nifas, menopause, sedangkan laki-laki tidak mengalami hal yang demikian. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kebolehan berpoligami itu hanya bersifat rukhsah (kelonggaran) yang boleh dilakukan apabila dalam kondisi darurat, dan dengan persyaratan yang amat sangat ketat.
Begitu juga perbedaan dalam warisan, ini tidaklah menjadikan laki-laki lebih baik dan lebih unggul dari perempuan, karena laki-laki memiliki beban taklif yang lebih besar karena selain memenuhi kebutuhannya sendiri tetapi juga bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan istri dan anaknya. Kemudian mengenai hak talak ada di tangan laki-laki karena memang laki-laki memiliki beban lebih besar, dan mempunyai kewajiban memberi mahar dan nafkah. Hak-hak seperti ini tidak dimiliki oleh kaum perempuan bukanlah berarti laki-laki lebih sempurna dari perempuan, akan tetapi antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang seimbang, tidak ada pihak yang ditinggikan dan direndahkan. 
Sebagian ada yang memahami bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan dan penguasa baginya, dengan mengutip penggalan QS al-Nisa’: 34 (bahwa laki-laki sebagai qawwam terhadap perempuan) dan QS al-Baqarah: 228 (tetapi para suami mempunyai kelebihan atas mereka (perempuan). Mereka memaknai qawwam dalam ayat tersebut sebagai ‘penguasa’, kemudian menafsirkan ayat tersebut secara harfiah, sehingga dalam pandangan mereka bahwa kedudukan laki-laki lebih utama dari perempuan, dengan alasan para nabi diutus dari pihak laki-laki, dan laki-laki terkesan lebih sempurna secara akal dan lebih kuat secara fisik. Dengan demikian, seorang perempuan dituntut untuk betul-betul patuh dan taat kepada suaminya dalam kehidupan berkeluarga tanpa mempertimbangkan kesalahan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya.
 Tidak otoriter
Pola pandang seperti itu, sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan sosial di masyarakat, karena akan menempatkan perempuan pada makhluk kelas dua. Namun ada juga ulama lain yang tidak sependapat dengan pemahaman seperti ini, Muhammad Rasyid Ridha, misalnya, dengan tegas menolak penafsiran yang mendiskreditkan perempuan atas dasar jenis kelamin dan atas dasar faktor-faktor alamiah serta historis yang melekat pada perempuan. Beliau memahaminya dengan kepemimpinan yang tidak otoriter, dalam arti tidak ada pengekangan sedikit pun terhadap yang dipimpin, dan kelebihan laki-laki atas perempuan tidak berlaku untuk semua individu, sebab tidak sedikit juga perempuan yang melebihi laki-laki dalam hal ilmu, ekonomi, dan bisnis atau aktivitas kerja (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz V, hlm. 68-69).
Begitu juga dengan Mahmud Syaltut, sebagaimana ungkapannya: “Kelebihan yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah identik dengan penguasa sehingga boleh bersikap otoriter, akan tetapi hanya kepemimpinan dalam rumah tangga yang timbul akibat perkawinan, sehingga laki-laki memiliki beban dan tanggung jawab yang lebih besar karena harus menafkahi dan memenuhi kebutuhan keluarganya, dan perlu digarisbawahi bahwa kelebihan tersebut ibarat fungsi anggota tubuh dengan anggota tubuh yang lainnya.” (Mahmud Syaltut, al-`Aqidah wa al-Syari`ah, Dar al-Qalam, Cet. III, 1966, hlm. 163).
Oleh karena itu, meskipun qawwam diberikan kepada laki-laki, bukan berarti Islam merendahkan derajat perempuan. Pernyataan Alquran “Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain” justeru secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa perempuan pun bisa saja memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki. Sebagian laki-laki mungkin memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki lain, sebagian laki-laki mungkin juga memiliki kelebihan atas sebagian (bukan semua) perempuan.

Demikian juga, secara implisit mungkin saja sebagian perempuan memiliki kelebihan atas sebagian laki-laki. Kelebihan yang dimaksudkan di sini memiliki makna yang bervariasi, kelebihan tersebut bersifat alamiah seperti kecantikan, kesehatan, kecerdasan otak, bakat dan sebagainya atau sebagai hasil usaha seperti ilmu pengetahuan, keahlian, kekayaan dan lain-lain. 
Atau juga dapat dipahami dengan makna yang berbeda seperti kelebihan dalam kesungguhan, keuletan dan keseriusan seorang suami dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Juga tidak menutup kemungkinan pemahaman lain yaitu kelebihan tersebut dalam koridor fitrah yang diberikan oleh Allah, yaitu secara naluri seorang laki-laki mencintai dan memikat hati pasangannya walaupun satu sama lain memiliki kekurangan. Mereka dapat hidup bersama karena memiliki rasa cinta kepada masing-masing pasangannya, sehingga dari perkawinan tersebut menghasilkan keturunan.

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA, Ketua Prodi Hukum Keluarga (SAS) Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT), email: agustinhanafi77@yahoo.com
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar