♠ Posted by Agustin Hanafi at 00.58
Dr. H. Agustin Hanafi, MA,
KATA sejahtera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai rasa aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan). Bagi sebagian masyarakat, kata sejahtera identik dengan kecukupan materi, sehingga jiwa menjadi tentram karena segala kebutuhan hidup telah terpenuhi. Bahkan orang tua pun senang apabila melihat anak dan menantunya hidup sejahtera, yakni terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Cukup sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan penunjang lainnya.
Adapun “sejahtera” dalam pandangan Islam bukanlah orang yang memiliki ekonomi mapan dan kekayaan yang melimpah sebagaimana anggapan sebagian orang, akan tetapi kemampuan seseorang yang dalam hal ini adalah suami atau istri untuk dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Tidak hanya sekadar kata cinta, namun menumbuhkembangkan rasa ikhlas di dalam hatinya. Orang yang telah menanamkan jiwa ikhlas, sesibuk apa pun kondisinya melayani pembeli namun ketika azan berkumandang, dia lebih memilih panggilan Ilahi yang mengajaknya shalat berjamaah.
Kalau dikaitkan dengan hubungan suami-isteri dalam rumah tangga, nilai kejujuran tersebut bisa dimaknai dengan semakin menghayati kesucian ikatan pernikahan yang telah diikrarkan berdua, benar-benar menjaganya, tidak berkhianat atau melakukan perbuatan yang membuat pasangannya curiga dan tidak nyaman dan bertanya-tanya. Kemudian suami-isteri jujur dan transparan dalam pendapatan dan penghasilan yang diperoleh secara halal, bukan dari hasil korupsi, merampok, dan lain-lain, kemudian bermusyawarah dalam penggunaannya untuk dibelanjakan di jalan Allah sehingga lahirlah generasi yang shaleh yang kelak akan mendoakan orang tuanya agar masuk surga.
Bersikap ikhlas
Karena memiliki jiwa ikhlas, dan menyadari betul bahwa hubungan suami-istri bukanlah seperti hubungan bisnis, maka masing-masing pihak selalu berusaha meringankan beban pasangannya dengan penuh rasa ikhlas, seorang istri misalnya, walau mencari nafkah adalah tugas utama suami. Tetapi istri dengan tulus membantu dan meringankan beban suami bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, walau istri bertanggung jawab menyangkut rumah tangga, kebersihan, penyiapan makanan, dan mengasuh anak, tetapi bukan berarti suami membiarkannya sendiri dengan bersikap cuek, tidak peduli dan bersikap masa bodoh.
Kemudian kualitas pengorbanan suami-isteri semakin meningkat, terlebih pada Ramadhan ini, misalnya suami akan mengurungkan niatnya untuk duduk-duduk di warung kopi selepas shalat Tarawih kalau memang itu dinilainya menghabiskan waktu dan kurang bermanfaat, karena dia meyakini bahwa minuman dan masakan istrinya jauh lebih nikmat, serta menumbuhkan kehangatan dan rasa cinta. Seorang istri akan mengorbankan waktunya demi suami dan anak-anak, sehingga memendam hasratnya untuk duduk-duduk di depan TV tetapi mempersiapkan menu buka puasa, makan sahur untuk suaminya walaupun dia letih dan kurang tidur. Meningkatkan kapasitas diri dengan mengaji, membaca, sehingga menjadi isteri yang berkualitas bagi suaminya dan pendidik yang bermutu bagi anak-anaknya.
Kemudian yang dianggap sejahtera adalah menyadari bahwa Allah itu benar-benar ada, Maha Melihat, pertolongan-Nya itu dekat dan benar-benar siksa-Nya itu berat. Mereka tidak mudah mengeluh dan putus asa dengan keadaan yang serba kekurangan, atau sakit yang datang menguji, tetapi dapat selalu bersyukur, sehingga terbentuk benteng iman yang kuat. Tidak menginginkan perceraian hanya karena persoalan materi dan sebagainya, tetapi wajahnya selalu berseri, dan besikap sangat santun, lemah lembut, hangat, akrab, selalu tersenyum, tertawa kepada pasangannya. Inilah suami dan istri yang ketika di rumah memberikan keteduhan, dan ketika pergi menyisakan rindu dan sedih di hati.
Adapun “sejahtera” dalam pandangan Islam bukanlah orang yang memiliki ekonomi mapan dan kekayaan yang melimpah sebagaimana anggapan sebagian orang, akan tetapi kemampuan seseorang yang dalam hal ini adalah suami atau istri untuk dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Tidak hanya sekadar kata cinta, namun menumbuhkembangkan rasa ikhlas di dalam hatinya. Orang yang telah menanamkan jiwa ikhlas, sesibuk apa pun kondisinya melayani pembeli namun ketika azan berkumandang, dia lebih memilih panggilan Ilahi yang mengajaknya shalat berjamaah.
Kalau dikaitkan dengan hubungan suami-isteri dalam rumah tangga, nilai kejujuran tersebut bisa dimaknai dengan semakin menghayati kesucian ikatan pernikahan yang telah diikrarkan berdua, benar-benar menjaganya, tidak berkhianat atau melakukan perbuatan yang membuat pasangannya curiga dan tidak nyaman dan bertanya-tanya. Kemudian suami-isteri jujur dan transparan dalam pendapatan dan penghasilan yang diperoleh secara halal, bukan dari hasil korupsi, merampok, dan lain-lain, kemudian bermusyawarah dalam penggunaannya untuk dibelanjakan di jalan Allah sehingga lahirlah generasi yang shaleh yang kelak akan mendoakan orang tuanya agar masuk surga.
Bersikap ikhlas
Karena memiliki jiwa ikhlas, dan menyadari betul bahwa hubungan suami-istri bukanlah seperti hubungan bisnis, maka masing-masing pihak selalu berusaha meringankan beban pasangannya dengan penuh rasa ikhlas, seorang istri misalnya, walau mencari nafkah adalah tugas utama suami. Tetapi istri dengan tulus membantu dan meringankan beban suami bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, walau istri bertanggung jawab menyangkut rumah tangga, kebersihan, penyiapan makanan, dan mengasuh anak, tetapi bukan berarti suami membiarkannya sendiri dengan bersikap cuek, tidak peduli dan bersikap masa bodoh.
Kemudian kualitas pengorbanan suami-isteri semakin meningkat, terlebih pada Ramadhan ini, misalnya suami akan mengurungkan niatnya untuk duduk-duduk di warung kopi selepas shalat Tarawih kalau memang itu dinilainya menghabiskan waktu dan kurang bermanfaat, karena dia meyakini bahwa minuman dan masakan istrinya jauh lebih nikmat, serta menumbuhkan kehangatan dan rasa cinta. Seorang istri akan mengorbankan waktunya demi suami dan anak-anak, sehingga memendam hasratnya untuk duduk-duduk di depan TV tetapi mempersiapkan menu buka puasa, makan sahur untuk suaminya walaupun dia letih dan kurang tidur. Meningkatkan kapasitas diri dengan mengaji, membaca, sehingga menjadi isteri yang berkualitas bagi suaminya dan pendidik yang bermutu bagi anak-anaknya.
Kemudian yang dianggap sejahtera adalah menyadari bahwa Allah itu benar-benar ada, Maha Melihat, pertolongan-Nya itu dekat dan benar-benar siksa-Nya itu berat. Mereka tidak mudah mengeluh dan putus asa dengan keadaan yang serba kekurangan, atau sakit yang datang menguji, tetapi dapat selalu bersyukur, sehingga terbentuk benteng iman yang kuat. Tidak menginginkan perceraian hanya karena persoalan materi dan sebagainya, tetapi wajahnya selalu berseri, dan besikap sangat santun, lemah lembut, hangat, akrab, selalu tersenyum, tertawa kepada pasangannya. Inilah suami dan istri yang ketika di rumah memberikan keteduhan, dan ketika pergi menyisakan rindu dan sedih di hati.
Sekali lagi, ukuran sejahtera bukanlah terletak pada materi, tetapi terletak pada kualitas iman dan kekayaan hati yang meyakini akan kebesaran Allah sehingga jauh dari sifat dengki, iri hati, fitnah, dan lain-lain. Kalau merujuk rumah tangga Rasulullah saw, bahwa hidupnya sangat sederhana, tidak bermewah-mewah, tidak bermegah-megah, tidak menumpuk harta. Dalam rumah beliau juga tidak ada pemandangan yang mencolok, yang ada hanyalah hamparan tikar, sebuah alas tidur yang terbentang bersih dan rapi, dan beberapa bejana yang sangat sederhana, bahkan nyaris tak ada harganya jika dijual.
Bekerja keras
Walaupun demikian, bukan berarti Nabi Muhammad saw menganjurkan umatnya untuk hidup miskin. Tetapi sebaliknya, menyuruh umatnya untuk selalu bekerja keras dan cerdas, berusaha dengan ulet dan tekun untuk mendapatkan rezeki yang halal sebanyak-banyaknya, sehingga mampu mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan lain-lain, yang merupakan pilar-pilar agama. Bahkan beliau sendiri tidak suka kepada umatnya yang mengemis sebagaimana dipahami dari sabdanya: “Bahwa tangan di atas lebih baik dan lebih mulia dari tangan di bawah.” Maka perlu dijiwai dan dihayati betul bahwa memberi lebih baik dan lebih terhormat ketimbang menadahkan tangan untuk meminta-minta.
Kemudian perlu disadari bahwa cinta tidak dapat direkayasa, tidak juga dapat dibeli dengan harta. Ia hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur dan kesetiaan kepada pasangan. Mari hiasi Ramadhan ini dengan amal ibadah, anggaplah kali ini Ramadhan terakhir bagi kita sehingga memotivasi diri untuk beribadah secara maksimal. Bukan memfokuskan diri mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya hanya untuk keperluan lebaran seperti pakaian baru, aneka kue, minuman warna-warni dan sebagainya.
Bekerja keras
Walaupun demikian, bukan berarti Nabi Muhammad saw menganjurkan umatnya untuk hidup miskin. Tetapi sebaliknya, menyuruh umatnya untuk selalu bekerja keras dan cerdas, berusaha dengan ulet dan tekun untuk mendapatkan rezeki yang halal sebanyak-banyaknya, sehingga mampu mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan lain-lain, yang merupakan pilar-pilar agama. Bahkan beliau sendiri tidak suka kepada umatnya yang mengemis sebagaimana dipahami dari sabdanya: “Bahwa tangan di atas lebih baik dan lebih mulia dari tangan di bawah.” Maka perlu dijiwai dan dihayati betul bahwa memberi lebih baik dan lebih terhormat ketimbang menadahkan tangan untuk meminta-minta.
Kemudian perlu disadari bahwa cinta tidak dapat direkayasa, tidak juga dapat dibeli dengan harta. Ia hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur dan kesetiaan kepada pasangan. Mari hiasi Ramadhan ini dengan amal ibadah, anggaplah kali ini Ramadhan terakhir bagi kita sehingga memotivasi diri untuk beribadah secara maksimal. Bukan memfokuskan diri mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya hanya untuk keperluan lebaran seperti pakaian baru, aneka kue, minuman warna-warni dan sebagainya.